31 Maret 2022

Review Buku "Heal the Hurt that Sabotages Your Life"

"Heal the Hurt that Sabotages Your Life," be free of the inner issues that destroy love and create suffering

Penulis: Bill Ferguson


Beberapa hari lalu beberapa buku yang ku-review secara ajaib membebaskanku dari 2 buah sabotase diriku (self sabotage), padahal isinya/temanya nggak tentang itu dan mungkin juga nggak memuat itu. Tiba-tiba aja ada "blink" gitu dan itu rasanya ringan sekali, ceria, dan positif. Lalu karena otakku memunculkan kata "sabotase", aku nyari buku yang emang temanya sabotase beneran dan isinya full sabotase. Taunya apa, 2 buku yang sempat kuintip itu malah membuatku betmut parah, sangat negatif, dan mengalami pembalikan/degradasi yang lumayan drastis. Itu efek subyektif yang kurasakan dan aku kecewa karena isinya kok berefek gini banget di aku. Pun bahasanya yang pake kata ganti orang ke dua kok terasa semakin bikin auranya nggak enak. Salah satu bukunya adalah buku "Heal the Hurt that Sabotages Your Life" ini. Pada buku ini aku merasa penulis controlling, berusaha memaksakan kondisi pembaca itu harus/pasti sesuai dengan asumsinya. Aku merasa dia sok tahu akan realita pembaca (pasti sama dan sesuai apa yang dipikirkannya) dan aku merasa penulis seolah bilang cara dia adalah satu-satunya (lakukan ini kalau kamu ingin berhasil/pulih). Apalagi dengan gaya bahasa "kamu", semakin terasa controlling/otoriter/diktatornya. Itu di antara sebab yang bikin auranya nggak enak, selain sebab-sebab yang lain.


Sebelum bahas buku ini, aku mo sharing dikit tentang psikologi versi aku. Aku sudah lama mendalami psikologi tapi aku bukan lulusan psikologi. Menurutku, terapi psikologi tahap awal bisa dibedakan menjadi salah satu dari 2 kelompok ini:

1. Kelompok 1 berbasis pikiran sadar dan bawah sadar,

2. Kelompok 2 berbasis pikiran, perasaan, dan intuisi.


Baru kemudian dibagi ke terapi bicara (wicara), terapi makanan, terapi tindakan (behavioral), dll.


Nah, buku "Heal the Hurt that Sabotages Your Life" ini adalah buku psikologi yang terapinya berbasis pikiran. Isinya tentang sabotase diri, antara lain: asal mula rasa sakit, berdamai dengan diri sendiri, 2 sisi mata uang, penyebab perasaan-perasaan buruk/rasa sakit di dirimu, isu-isu umum pada diri seseorang (perasaan bersalah, tidak layak, tidak dicintai, dll), perintah untuk menghadapi masalahmu, langkah-langkah untuk healing (pemulihan), dll.


Di sini, ada metodenya yang bagiku terlalu "mengerikan/tidak aman" jika dilakukan terhadap sembarang orang serta ada hal-hal yang aku tidak setuju (dan bagiku lumayan fatal). 


Buku ini singkat kok, cuma 92 halaman, dan per bagian/babnya itu lumayan pendek. Selain itu, pada akhir tiap bab ada panduan tindakannya untuk kamu terapin.


Nah, pada bagian awal kan aku bilang ada 2 buku tentang sabotase yang auranya (vibe-nya) nggak enak di aku. Kalau buku yang ini kan berbasis pikiran, yang satunya cenderung berbasis perasaan. 


Tapi ya, pengalaman hidup seseorang dan pengalaman baca seseorang kan beda-beda, apa yang kurasakan dan kupikirkan serta efek buku-buku tersebut di aku belum tentu sama dengan di kamu. Jadi, coba aja baca dan rasakan sendiri.





29 Maret 2022

Review Buku "Smart Choices"

"Smart Choices: a Practical Guide to Making Better Life Decisions"

Penulis: John S. Hammond, Ralph L. Keeney, dan Howard Raiffa


Ini menarik. Aku sudah baca beberapa buku tentang decision (pengambilan keputusan) dan isinya beda-beda. Buku "Smart Choices" inilah yang kemarin kubilang sepertinya lebih dapet point-nya.


Setidaknya aku sudah baca 4 buku decision dalam waktu dekat, yaitu Great People Decisions, The Paradox of Choices, The Truth about Making Smart Decisions, dan Smart Choices. Yang Great People Decisions itu buku berat ya, yang lain nggak. Dari semuanya aku paling suka "Smart Choices" ini, dia bahasanya ringan, memandu dengan lebih detail, dan tahapan pengambilan keputusannya itu ditunjukkan. 


Buku "Smart Choices" berisi tentang cara pengambilan keputusan yang tepat, mulai dari penentuan masalahnya harus tepat sampai dengan menakar tentang konsekuensi dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh keputusan tersebut. Dia cocok banget untuk orang awam atau masyarakat umum dan bisa digunakan untuk masalah apa pun. Pokoknya untuk masalah umum dan target masyarakat umum, kamu bisa pilih ketiga judul di atas, kecuali "Great People Decisions" karena itu berat banget, spesifik untuk pemilihan orang, dan lebih cocok untuk HRD/kantoran.


Selain itu, "Smart Choices" ini juga punya kelebihan lain yaitu memuat rangkuman totalnya pada bagian paling akhir. Tapi, kalau kamu cuma baca rangkumannya akan ada bagian yang terlewat, misalnya tentang cara pengambilan keputusan pada contoh kasus yang diberikan.


Yang jelas, buku ini bagus banget, dan akan lebih bagus lagi kalau covernya diperbaiki. Tulisan pada covernya masih terlalu penuh dan kurang enak dilihat, sedangkan covernya secara keseluruhan itu masih berkesan bahwa dia buku "berat", padahal isinya "ringan". Sayang banget, kan? Tadinya aku juga ngira ini buku berat lho, taunya ringan.


Jadi, untuk pengambilan keputusan secara umum untuk orang awam, kalau kamu cuma ambil 1 buku, pilih "Smart Choices" atau "The Paradox of Choices." Kalau 2 buku, kamu pilih salah satu dari kedua buku di atas plus "The Truth about Making Smart Decisions." 


Recommended ya.

28 Maret 2022

Review Buku "Small Habits, Big Changes"

"Small Habits, Big Changes," how the tiniest steps lead to a happier, healthier you.

Penulis: Steven Handel



Sepanjang aku baca buku habit-habit an, seingatku semuanya bagus dan mirip. Artinya, kamu bisa milih salah satu aja dan kamu nggak akan kehilangan banyak. Kamu akan tetap dapat mayoritas manfaat/manfaat inti dari buku-buku tersebut. 


Buku "Small Habit, Big Changes" ini pun bagus dan bisa jadi pilihan yang baik buatmu. Dia enak kok buat dipelajari karena disusun dengan terstruktur, ramah buat dibaca dan diingat, ramah buat speed reading, ada contoh-contoh spesifiknya, serta ada rangkuman pada tiap bagian maupun rangkuman keseluruhan pada bagian akhirnya. Kalau kamu pengen yang praktis dan hemat waktu banget, kamu bisa langsung baca rangkuman totalnya di bagian akhir buku. Nggak usah kuatir, itu sudah mencakup inti dari isi buku tersebut.


Buku ini berisi tentang perubahan kebiasaan kecil (small habit) dalam hal tidur, diet, kerja, olahraga, bersih-bersih, pengelolaan keuangan, kesehatan mental, dan hubungan.


Karena judulnya "small habit" dan bukan "one thing", buku ini menurutku bisa ditafsirkan setidaknya menjadi 2:

1. Kamu memilih mau mengubah small habit di bidang apa (1 bidang dan 1 habit),

2. Kamu mengubah seluruh bidang kehidupanmu dengan perubahan yang small tadi.

Misalnya: kamu melakukan 1 perubahan kecil di bidang kesehatan, 1 di bidang kerja, 1 di bidang hubungan, dst. 

Jadi, untuk yang nomer 2 ini bisa berarti gini:

Small habit bidang A+small habit bidang B+small habit bidang C = big habit.

Kumpulan dari small kan jadi besar juga akhirnya.

Tapi sih itu tergantung kemampuan masing-masing orang ya tentang penerapannya. Bisa fleksibel lah ya.


Trus ada yang unik dari daftar pustaka buku ini. Daftar pustakanya itu diberi judul "reading list" dan disusun dalam format yang aneh (nggak sesuai dengan aturan penulisan buku).


Kayaknya ya, buku bule itu lebih fleksibel, nggak saklek dengan aturan penulisan buku. 


Terakhir, buku ini akan lebih bagus kalau covernya lebih menarik.


27 Maret 2022

Review Buku "The Truth about Making Smart Decisions"

"The Truth about Making Smart Decisions," get it right every time ...

Penulis: Robert E. Gunther


Habis baca buku kemarin yang berat abis dan keterbacaannya nggak enak, aku nyari yang lebih ringan atau enak dibaca. Ketemulah aku dengan buku "The Truth about Making Smart Decisions" ini. Sebenarnya secara cover kurang menarik (kayak cover buku teks kuliahan), tapi begitu kuintip isinya ... wow keren banget. Kayak majalah. Susunannya itu enak banget dilihat dan lumayan enak dibaca. Layoutnya bagus penyajiannya. 


Buku ini agak beda dari buku bule kebanyakan yang pernah kubaca. Ini daftar isinya sistematis dan ada halamannya. Isi bukunya sendiri berupa listicle, yang terdiri dari 50 list/daftar kebenaran. Kelimapuluh list tadi kemudian dibagi ke dalam 11 bagian berdasarkan topiknya masing-masing.


Kalau dibandingkan dengan "The Paradox of Choice" dan "Great People Decisions", menurutku "The Paradox of Choice" itu lebih inti (lebih masuk ke cara memilihnya), sedangkan "The Truth about Making Smart Decisions" ini lebih bersifat melengkapi. "Krenthilan"-nya atau hal-hal yang seperti kecil/remeh tapi penting juga dan mungkin sering diabaikan/dilupakan orang. Buku ini juga bersifat umum (nggak seperti "Great People Decisions" yang cenderung lebih cocok untuk HRD dan bos/kantoran), tapi bahasanya juga masih agak berat ya. Masih kurang memasyarakat (kurang awam dan kurang simple). 

Sebenarnya aku kemarin juga sempat ngintip buku decision yang lain yang kayaknya poinnya lebih dapet/lebih pas, tapi karena keterbacaannya nggak enak, tulisannya nggak terstruktur dengan rapi, jadi aku milih yang ramah dan nyenengin di mata dulu.


Oh ya, buku "The Truth about Making Smart Decisions" ini adalah salah satu dari buku "The Truth." Buku "The Truth" ini ada banyak/berseri. Kalau lihat dari bagian belakang buku ini, setidaknya ada 6 buku "The Truth" dengan tema yang beda-beda. 


Terakhir, meskipun judulnya "The Truth", aku nggak tahu itu truth beneran atau opini. 


Jadi, kesimpulannya dia bagus tapi cuma pelengkap dan aku nggak menemukan apa yang kucari di sini. 







26 Maret 2022

Review Buku "Great People Decisions"

"Great People Decisions," why they matter so much, why they are so hard, and how you can master them

Penulis: Claudio Fernandez Araoz


Buku "Great People Decisions" ini sebenarnya agak melenceng dari yang kucari. Tadinya aku kurang teliti, nyari "decision" secara umum eh ngambil yang "people decision." Tapi pas aku nyadar ya udah gak papa lah ya, masih berhubungan. Kalo dipikir-pikir perlu juga people decision.


Ini buku berat banget, bahasanya formal tapi sebagian isinya sederhana/mudah dipahami walaupun formal dan sebagian sisanya berat banget, baik secara keilmuan maupun bacanya yang harus pelan-pelan dan hati-hati. Hal seperti ini biasa/banyak ditemui pada orang-orang yang terlalu pintar atau terlalu tinggi pendidikannya dan semacamnya. Mereka susah menyampaikannya dalam bahasa yang sederhana atau menyederhanakan apa yang diajarkan. Apalagi jika misal yang menulis bukan orang yang berprofesi sebagai penulis dan menulis berbasis pengalaman, biasanya cenderung bertele-tele/tidak padat. Kalau buku ini sih berbasis pengalaman dan referensi, baik interview, riset, buku, atau lainnya.


Buku "Great People Decisions" ini dibuka dengan 4 faktor utama penentu kesuksesan, yaitu genetika, perkembangan, keputusan karir, dan keputusan orang. 


Keputusan orang ini sangat besar pengaruhnya bagi kesuksesan dan kehidupan, misalnya untuk memilih teman, pasangan, klien, merekrut karyawan, sampai dengan memilih dokter dengan keahlian yang tepat. Beruntungnya keputusan orang ini bisa dipelajari. Dan Claudio Fernandez Araoz mengajarkannya di dalam buku "Great People Decisions" ini.


Buku ini sebenarnya tentang positioning (the right man in the right place), yaitu merekrut karyawan yang tepat, menempatkan di posisi yang tepat, membuat mereka bisa bersinergi di dalam sebuah tim, sampai dengan memecat karyawan/pegawai yang tidak tepat. Selain itu, dia juga menjelaskan kecenderungan-kecenderungan kita saat membuat keputusan, kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam membuat keputusan, di mana mencari kandidat yang tepat, kapan harus berhenti mencari, serta bagaimana cara melihat potensi. Tak lupa pula penulis membandingkan seberapa penting IQ, EI (Emotional Intelligence), pengalaman, dan kompetensi dalam mencari kandidat yang tepat. Apa yang perlu dilihat/diutamakan dari calon-calon tersebut.


Uniknya, meskipun ini konteks pekerjaan, tetapi penulis juga menyisipkan pembuatan keputusan dalam konteks memilih pasangan. Cocok lah dengan yang kucari. Aku masih membandingkan berbagai teori dari para ahli tentang apa sih yang harus menjadi fokus kita atau kriteria inti kita dalam memilih pasangan/jodoh. Meski demikian, aku masih nggak paham/merasa abstrak. Paham tapi nggak sepenuhnya. Aslinya sih, variabelnya masih luas. Kayaknya memang nggak bisa disederhanakan deh. Tapi secara umum beberapa ahli tersebut memberikan indikator yang masih ada benang merahnya. Aku pribadi meyakini konsep kepemimpinan di dalam keluarga dan di dalam perusahaan itu masih mirip. Ada kemampuan dasar yang sama yang harus dimiliki oleh orang tersebut. Itu karena kita bicara tentang sifat/kualitas pemimpinnya dan bukan tempatnya. 


Buku ini bagus tapi berat banget. Dia cocoknya untuk orang level tinggi/kalangan intelek. Berat kalau buat orang awam atau yang berpendidikan rendah. Yang paling cocok ya buat HRD atau bos, yang paling berkepentingan dengan positioning ini.

25 Maret 2022

Review Buku "The 80/20 Principle"

"The 80/20 Principle," the secret to achieving more with less

Penulis: Richard Koch


Aku sudah lama tahu tentang prinsip 80/20 ini, yaitu yang terkenal dengan nama prinsip Pareto, sehingga aku sempat menyepelekan buku "The 80/20 Principle" ini sebelum membacanya karena merasa sok tahu. Ternyata, isinya di luar bayanganku. Masih banyak sekali hal yang tidak kuketahui di dalamnya. Bahkan, mungkin aku tidak terlalu tahu selain pengertiannya saja, yaitu 80% hasil/output/reward ditentukan oleh 20% input/orang/usaha/waktu. Gitu doang, sementara penerapannya aku tidak terlalu tahu.


Pada buku "The 80/20 Principle" inilah penerapannya dijelaskan secara meluas dan mendalam, juga mendetail. Di dalam ranah pekerjaan, hubungan (relationship), maupun kehidupan secara umum ternyata prinsip ini bisa diterapkan. Prinsip Pareto ini memiliki beberapa manfaat dan juga tantangan. Tantangan terbesarnya adalah menentukan di mana atau pada bagian apa 20% hal yang menguntungkan ini.


Buku ini bahasanya berat tetapi isinya sangat kaya. Meskipun tidak semuanya kupahami, tetapi aku mendapatkan banyak wawasan dan pencerahan darinya.


Buku ini masih berhubungan banget dengan work less, work smart, produktivitas, efisiensi, efektivitas, dan pokoknya hidup yang mudah, enjoy, dan bahagia.


Intinya kita harus super selektif karena nggak semua hal bernilai sama. Choose wisely. 


Good book.

I reccommend this ("The 80/20 Principle") book. 

24 Maret 2022

Review Buku "The Paradox of Choice"

"The Paradox of Choice," why more is less. How the culture of abundance robs us of satisfaction

Penulis: Barry Schwartz


Ada yang menarik saat pertama kali aku lihat cover buku "The Paradox of Choice" ini. Dia punya sub dari subjudul. Kalau kamu sudah lama ngikutin blogku, kamu mungkin tau kalau pada buku-buku bule ada subjudul itu biasa. Mayoritas atau mungkin semuanya (kayaknya semuanya deh) buku bule ada subjudulnya. Tapi yang ada subnya lagi (sub dari subjudul) seingatku aku baru nemu di buku ini aja. Hal lain yang biasanya kutemui juga di buku bule adalah daftar isinya nggak pake halaman. Dia cuma memuat chapter sekian, bahasan ini, tapi nggak ada halamannya.


Buku ini bukan buku biasa. Dia termasuk top ten book of the year, entah tahun berapa.


Isi buku ini adalah tentang memilih atau membuat keputusan. Ada banyak sekali hal di sekitar kita sementara waktu atau sumber daya kita terbatas, sehingga kita harus pandai-pandai memilih. Dari memilih hal-hal yang sederhana ala emak-emak seperti masak apa hari ini (ini aku sendiri ya bukan isi bukunya), sampai dengan memilih yang berat-berat/penting seperti memilih karir atau jodoh, semua perlu memilih. 


Sayangnya, semakin banyak pilihan kita semakin bingung milihnya dan semakin berisiko mengalami rasa sakit. Jadi, gimana cara milih yang tepat? Itu ada seninya.


Buku ini diawali dengan betapa seringnya kita harus memilih, lalu dijelaskan tentang 3 tipe pemilih, kemudian alasan-alasan kita memilih (yang bahkan kadang tidak rasional), kemudian efek-efek terjadinya sesuatu sebelum kita memilih, tak ketinggalan pula dijelaskan mengenai efek-efek dari pilihan kita, kuesioner kita termasuk tipe pemilih yang mana, dan so pasti cara memilih dengan lebih baik dan tanpa penyesalan.


Buku ini masih kugolongkan berat tapi bagus. Hanya saja, menurutku bab 1-nya yang memuat macam-macam hal yang harus dipilih lebih baik dihilangkan atau disederhanakan cz terlalu buang-buang waktu, trus pada bagian-bagian lainnya akan sangat membantu kalau poin utamanya disorot/diberi penekanan misal dikotaki/di-bold. 


Buku ini juga menarik karena saat membacanya itu aku berpikir, misalnya menikah. Menikah itu menutup pilihan kita untuk lirak-lirik lagi, tapi ternyata pembatasan pilihan itulah yang akan menghindarkan kita dari penderitaan karena pilihan yang tanpa batas. Sesaat aku teringat juga akan konsep "the one"/"the right one" yang dulu pernah kuyakini tapi juga telah kutinggalkan setelah aku melakukan unlearning dan relearning. Konsep "the one" juga dapat menyebabkan derita akibat pilihan tanpa batas seperti ini. 


Hal lain yang juga menarik adalah tentang bahaya berandai-andai/menyesal. Ya, aku ingat hadits tentang itu saat membaca buku ini. Ada penjelasannya juga di sini. Secara terpisah aku juga pernah sih mengulasnya pada artikel lain di blog ini.


Kemudian yang paling mancep ya yang satu ini, memilih itu butuh waktu. Waktu untuk memilih akan mengurangi waktu untuk hal-hal lain di hidupmu, misalnya waktu untuk keluarga, untuk teman, dll. Jadi, hati-hati.


Akhir-akhir ini aku sudah sedikit berbenah. Aku sudah merapikan beberapa hal, aku sudah "tega" membuang buku-buku yang jelek/berat/nggak cocok/susah kupahami, aku sudah bisa membaca meloncat (nggak urut) atau bahkan membaca intinya saja (nggak harus semua/selesai), pokoknya aku sudah menyederhanakan beberapa hal, membuang beberapa hal, dan punya dasar pilih yang lebih kuat atas beberapa hal. Memilih dan membuat keputusan itu masih menjadi ranah yang bermasalah bagi diriku. Sekarang sedikit demi sedikit aku sudah bisa memilih dengan lebih baik.


So, apa pendapat finalku tentang buku ini? Bagus tapi berat. Masuk lah ya rekomendasiku.



23 Maret 2022

Review Buku "Wabi Sabi Love"

"Wabi Sabi Love," the ancient art of finding perfect love in imperfect relationship

Penulis: Arielle Ford


Lagi-lagi istilah Jepang. Aku kagum betapa sering filosofi Jepang diikuti/dijadikan contoh oleh orang-orang, seperti kemarin ada istilah Kaizen, ada juga Ikigai, dan sekarang Wabi Sabi. 


Bagi yang belum tahu, Wabi Sabi adalah seni melihat kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan. Mungkin nggak semua orang tahu Wabi Sabi. Jadi, judul ini kurang menjual. Untung ada penjelasan pada subjudulnya.


Buku "Wabi Sabi Love" ini berisi tentang resep-resep untuk membangun dan mempertahankan cinta serta merekatkan keintiman (intimacy) di dalamnya. Pada beberapa hal, seperti ada nada kepasrahan berlabel penerimaan atau pembauran diri (adaptasi). Tetapi pada kebanyakan isinya aku suka/setuju dengan resep-resep mereka. Hal terbesar yang tak kusetujui terutama tentang s*ks. Itu pun sebenarnya ajarannya bagus, cuma karena budaya mereka yang membolehkan melakukannya di luar nikah, itu jadi big big NO.


Secara umum, buku ini isinya bagus, tapi mungkin terlalu idealis. Aku memandang hal-hal indah di dalamnya bisa tercapai tapi bersyarat, yaitu pasanganmu harus tepat. Tepat di sini artinya bukan abuser, sehat mental, dan dia juga bener-bener ingin all out mencintaimu dan terus belajar untuk memahamimu demi bisa memperlakukanmu dengan lebih baik. Ada bagian-bagian di dalam buku ini yang seperti terlalu berasumsi akan balasan otomatis, bahwa jika kamu manis-manisin dan baikin pasanganmu duluan dia akan balas manis-manisin dan baikin kamu. Lalu ada juga bentuk kepasrahan lain (yang bagiku seperti kurang komunikasi, nggak enak gitu) yaitu kamu memperlakukan dia dengan baik lalu dia akan memperlakukanmu dengan baik juga ala dia (walaupun nggak sesuai harapanmu/keinginanmu).


Seperti buku-buku serupa lainnya, kamu harus hati-hati nerapin yang ginian, agar gak terjatuh pada abuser. Isinya (mayoritas) bagus, walau beberapa biasa/klise (udah banyak di buku serupa) ada juga tambahannya. Asal kamu melakukannya pada calon/pasangan yang tepat, ini lumayan bagus untuk diterapkan.


Tapi, buku ini dominan story telling dan ditulis dengan lempeng banget. Which means keterbacaannya nggak enak. Dia sangat melelahkan untuk dibaca.


Selebihnya, pilihan ada di tanganmu.





Review Buku "The Attractive Introvert Formula"

"The Attractive Introvert Formula"


Buku ini ternyata buku relationship untuk cowok introvert. Kalau kamu sudah lama ngikuti status atau blogku, kamu bisa nebak dong isinya apa. Yup, isinya mengandung "s*langkangan" alias cara ngajak t*dur bareng.


Jadi, buku ini itu buku yang dibuat oleh semacam dating coach cowok, untuk kaumnya. Si guru ini dulunya menderita kecemasan sosial, kurang PD, dan (dari nadanya) seperti malu karena dia sampai umur 21 ke atas itu masih virgin. 


Nah, setelah dia "bermetamorfosis", jadilah dia coach cinta. 


Buku ini berisi cara mengatasi hambatan internal cowok, cara PDKT, cara mengatasi penolakan, sampai pada cara ngajak ke k*sur. 


Untuk bagian lain sih ajarannya lumayan, cuma untuk bagian terakhir (s*ks) duh nggak banget. Lumayan itu bukan berarti bener semua, tapi ada yang baik dan banyak juga yang mengarahkanmu jadi player/fucek serta malu untuk jadi cowok baik-baik.


Buku ini menurutku abu-abu cenderung hitam. Abu-abu tua yang gelap banget. Jadi, aku nggak merekomendasikan buku ini. Kuatir kamu kepleset. 

22 Maret 2022

Review Buku "Up 2 U " (Baca: Up to You)

"Up 2 U " (Baca: Up to You), It's Your Life, Choose Wisely

Penulis: Andy Stanley dan Heath Bennett


It is strange. Aku nggak tau apa yang terjadi. Ini seperti pembuktian tunai. Sehabis membaca buku "The Kaizen Way", aku mempraktekkan sebagian di antaranya. Aku membuat pertanyaan-pertanyaan kecil, PR untuk otakku. Sekadar bertanya. Tanya doang. Nggak mikir aneh-aneh.


Trus entah kebetulan atau gimana, tiba-tiba 1 hal yang kumaksud mengalami perubahan. Hah? Aku agak "melongo." Trus kan aku nyari buku lagi untuk kureview, aku nemu buku "Up 2U" ini. Aku juga baca buku lain sih sepintas, tapi jelek/aku ga suka/isinya gitu-gitu aja masih mirip lainnya jadi kubuang, nggak kureview. Trus baca judul buku ini kok unik, walaupun aku ga suka covernya. Akhirnya kuintip isinya, dia bersifat refleksi/inspiratif. Aku tetep baca sepintas, keterbacaannya nggak enak dan ada beberapa ayat Kr*stennya. Yang ngikutin blogku mungkin udah tau ya kalau aku biasanya nggak baca/nyekip ayat-ayat gitunya. Jadi, yang kumaksud adalah tulisan bukunya yang reflektif tadi, bukan ayat-ayatnya.


Saat enak-enaknya baca, tiba-tiba aku terhubung pada 1 hal lain (yang masih berhubungan dengan pertanyaan kaizenku). Hal yang kumaksud itu udah lama tak gledakin/kutinggalkan. Aku procrastinate dia gitu lho. Aku nggak tau kenapa tapi ada blokade diri/self sabotage yang bikin aku nggak bisa nyentuh atau nerjuni atau ngelakuin dia lagi. Nah, secara ajaib, pas baca buku "Up 2U" ini ada krenteg di hatiku dan tiba-tiba aja aku tahu alasan ori-nya kenapa aku mensabotase diri tadi.


Itu unik banget gitu lho. Hari ini aku baca "The Kaizen Way", hari ini juga aku praktek, dan hari ini juga langsung ada kejadian-kejadian aneh tadi.


Kalau dibilang suka buku "Up 2U", kayaknya nggak juga. Biasa aja. Tapi kok ada impact-nya gitu lho. Aku ya bingung. Yah mending kamu baca sendiri buku tentang refleksi/renungan kehidupan tersebut, trus kamu nilai sendiri.

Review Buku "The Kaizen Way"

"The Kaizen Way," one small step can change your life

Penulis: Robert Maurer, Ph.D


Di dunia jurnalistik terkenal istilah 5W1H. Kalau di dalam perbukuan, penulisnya/para ahli tersebut memberi penekanan beda-beda pada kata tanya yang digunakannya. Bahkan, ada juga yang mengharamkan penggunaan kata tanya lainnya pada buku/bahasan yang sedang diulasnya. Jadi, kamu harus nyoba/ngetes satu-satu mana yang bekerja buatmu dan mana yang tidak.


Simon Sinek terkenal dengan buku "Start with why"- nya, Daniel H. Pink dengan buku "When"-nya dan masih banyak lagi yang lainnya baik yang kelihatan jelas pada judulnya (eksplisit) maupun yang implisit pada isinya saja. Nah, kalau buku "The Kaizen Way" ini cenderung pake "What", walaupun bisa juga pakai kata tanya lainnya.


Apa sih Kaizen itu? Kaizen adalah langkah kecil yang diambil untuk perbaikan yang kontinyu. Bayanganku itu isinya bakal seperti buku "One Thing", dan memang mirip, tapi beda. Miripnya itu karena sama-sama mengubah one thing dan small thing, tapi beda di caranya.


Di sini, Robert Maurer mengajarkan beberapa teknik Kaizen untuk meraih tujuan apa pun yang kita tetapkan, baik itu terkait dengan karir, hubungan/relationship, kesehatan, atau lainnya. Perubahannya itu tiny banget sehingga dirancang untuk nggak membebanimu dan nggak mendapatkan penolakan atau perlawanan dari otakmu. Sebenarnya ini berhubungan juga dengan buku "Change Your Life in 7 Days" tapi buku itu belum kureview plus aku belum selesai bacanya. Prinsipnya masih berhubungan banget. Tapi isinya beda ya. Beda banget.


Ini buku buagus banget isinya. Aku nggak ngira sebagus itu. Bahasanya juga enak. Cuma keterbacaannya yang nggak terlalu enak. Gpp lah, toh bukunya juga tipis. Ga bakal terlalu nyusahin. 


Baca aja deh. Bagus kok.

21 Maret 2022

Review Buku "Do < Get >" (Do Less Get More)

"Do < Get >," how to work smart and live life your way

Penulis: Shaa Wasmund


Masih dengan buku "Do less", kali ini aku mau mereview buku "Do < Get >" (baca: do less get more). Buku ini beda ya dengan kebanyakan buku yang serupa. Malahan, aku nggak ngira kalau isinya beda banget. Kalau biasanya buku "do less" itu tentang gimana cara kamu merapikan dan mempersingkat waktu ber-email, telepon, rapat, dll. Buku ini nggak. Mungkin kayak nyuruh kamu nyari sendiri caranya. Dia lebih ke "esensial" daripada "do less"-nya. 


Ini buku yang kreatif. Dia beda. Isinya lebih ke menginspirasi, memotivasi, atau bersifat open mind (membuka pikiran). Shaa Wasmund, penulisnya, mengajarkan pada kita untuk berfokus pada hal-hal yang penting, yaitu terkait pikiran kita, orang-orang, proyek-proyek, keputusan-keputusan, digital, dan lain-lain. 


Dia didesain dengan sangat enak bahasa dan penampilannya. Bahasanya sederhana dan ringan. Akan tetapi, dia tidak "mengalir". Di satu sisi aku merasa isinya kaya banget, tapi di sisi lain aku merasa isinya kurang terfokus. Dia seperti puzzle, kompilasi/tempelan dari berbagai sumber. Aku kurang tau itu termasuk ranah kesatuan atau koherensi atau alurnya yang nggak pas/kurang. Ada bagian dari bacaan itu yang ngganjel dan nggak bikin lancar jaya. Itu yang disayangkan banget. Padahal, bahasa udah dapet, keterbacaan (layout) udah enak, isi juga udah mudah dipahami, cuma kurang fokus aja. Sama satu lagi sih, ada gambar-gambar hiasan pada buku yang nggak match dengan isi bukunya dan bikin bukunya jadi aneh banget. Ada gambar yang mengganggu gitu. 


Tapi secara keseluruhan aku suka buku  "Do < Get >" (baca: do less get more) ini dan aku merekomendasikannya untuk dibaca. 

20 Maret 2022

Review Buku "Get It Done when You're Depressed"

"Get It Done when You're Depressed," 50 Strategies for keeping your life on track.

Penulis: Julie A. Fast & John D. Preston, Psy.D, ABPP


Pertama baca kata "depresi" aku nggak tau apa yang dimaksud penulis (Julie) ini depresi beneran (mental illness) ataukah sekadar kondisi saat orang itu sedang ada "di bawah" (nggak mood, kurang termotivasi, dsb.) atau bisa digunakan untuk keduanya. Karena kadang orang terlalu mudah melabel dirinya depresi, padahal bukan.


Sesuai judulnya, buku ini memuat 50 strategi agar kamu bisa tetap aktif saat depresi. Seluruh strategi ini sudah bisa terbaca pada daftar isinya. Setiap satu bahasan mewakili satu strategi dan setiap bahasan ini disertai dengan cerita Julie A. Fast dan orang-orang "depresi" lainnya yang telah berhasil tetap aktif saat depresi. Selain itu, pada akhir setiap bahasan juga disertai dengan latihan dan tambahan-tambahan dari Dr. Preston sebagai ahli yang mendampingi penulis dalam membahas tema ini.


Yang kutahu, penderita depresi itu nggak selalu stuck dan rebahan doang modelnya; ada penderita depresi yang bisa tetep aktif ataupun dari luar kelihatannya bahagia/ceria dan baik-baik saja. Nah, apakah semua penderita depresi asalnya adalah kaum rebahan kemudian penderita depresi yang bisa tetap aktif atau ceria atau tetap bersosialisasi adalah penderita depresi yang sudah naik levelnya (sudah membaik), ataukah memang depresi itu ada banyak jenis dan buku ini ditujukan untuk penderita depresi yang pasif, stuck, rebahan, atau menyendiri aku kurang tahu.


Tapi, pada prinsipnya, isi buku "Get It Done when You're Depressed" itu adalah memaksa kamu yang lagi depresi agar tetap aktif dengan 50 cara tadi. Bahkan, ini keras banget lho ya, kamu dikatakan egois dll kalau kamu kalah dengan depresimu dan menelantarkan tugas/kewajiban/tanggung jawabmu.


Sebagai buku yang ditujukan untuk orang depresi, 50 strategi itu terasa banyak banget ya. Awang-awangen bacanya. Belum lagi kalo kamu tau berapa jumlah halaman buku ini, wih tambah buerat bacanya. Ini jumlah halamannya 400 lebih ya. Untunglah cara menulisnya itu agak enak, pendek-pendek. Jadi, agak terbantu deh pembacanya yang lagi depresi tersebut.


Intinya, depresi itu kan membuat pikiranmu/perasaanmu/dirimu merasa buruk. Nah, kamu harus melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu agar pikiranmu/perasaanmu/dirimu itu membaik. Oleh karena itu, menurut Julie sendiri, buku ini adalah buku yang berisi cara untuk merasa lebih baik tentang dirimu sendiri saat depresi, yaitu dengan memaparkan segala hal yang mengganggu kerjamu saat depresi (produktivitasmu) dan cara mengatasinya. Targetnya hanya tetap aktif, walaupun nggak mungkin 100% sama aktifnya/sama produktifnya dengan saat kamu dalam kondisi nggak depresi.


Apakah buku ini bagus? Bagus. Lumayan. Walau kasar sih kalau dibilang egois dll saat lagi depresi. Dan ya itu tadi, berat banget ya kalo misal lagi depresi sungguhan trus disuruh baca 50 strategi atau 400 an halaman. Mending cari buku lain yang lebih tipis, lebih enak dibaca terkait isi maupun layout-nya, dan lebih ramah dan empatik bahasanya. Itu kalo aku sih.



Review Buku "Great at Work"

"Great at Work," how top performers do less, work better, and achieve more.

Penulis: Morten T. Hansen (New York Times best selling coauthor of Great by Choice)


Buku "Great at Work" ini meskipun subjudulnya ada kata "do less"-nya, tapi ini beda isinya sama buku yang kemarin baru kureview dan buku yang serupa dengannya. Kalau buku "The Power of Less" kemarin itu isinya lebih ke diri sendiri dan lebih untuk umum (lebih memasyarakat), sedangkan buku "Great at Work" ini penerapannya lebih berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Bahasanya itu berat banget dan teknis banget. Dia lebih cocok untuk kalangan profesional, yaitu orang kantoran mulai dari level menengah (staf) sampai ke bos tertingginya. 


Buku ini disusun secara aplikatif, walau untuk penerapannya sendiri tidak sederhana. 


Isinya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

I. Mastering your own work, yaitu tentang cara memperbaiki internalmu/dirimu sendiri dulu untuk meraih hasil kerja yang optimal,


II. Mastering working with others, bahwa untuk mencapai hasil bersama yang optimal itu kamu perlu bisa mengatasi permasalahan eksternalmu yaitu mengatasi masalah yang berhubungan dengan orang lain dan bekerja sama dengan mereka,


III. Mastering your work life, yaitu sesukses-suksesnya kerjaanmu kamu nggak boleh kebablasen, harus tetep mempertimbangkan aspek-aspek lain kehidupanmu. Bagian ini juga berisi manfaat dari kerja cerdas. Aslinya kerja cerdas itu akan memberimu banyak waktu atau kesempatan untuk bidang-bidang lain di hidupmu tapi kamu harus bisa ngerem sendiri sehingga jika kerja cerdasmu itu sudah membawamu ke puncak keberhasilan ya jangan kerja melulu. Penulis nggak ngajarin kamu untuk jadi overachiever lalu mengabaikan bidang-bidang lain kehidupanmu. 


Pada akhir dari setiap bagian di atas, penulis menunjukkan perbedaan dari kerja keras dan kerja cerdas, serta rangkuman dari bagian-bagian tersebut. Rangkuman ini lumayan baik dalam merangkum isi babnya. Jadi, andai kamu langsung baca rangkumannya aja, kamu nggak akan kehilangan banyak. Kamu tetep bisa paham inti dari isinya.


Buku "Great at Work" ini itu beda banget dari buku sejenis. Pertama, mungkin karena background penulisnya sebagai konsultan manajemen. Jadi, isinya mungkin lebih didominasi oleh pengalaman pribadinya sebagai praktisi di lapangan. Ke dua, karena judulnya menekankan pada "great at work" dan "top performer". Jadi, lebih untuk korporat/kantoran. Kalau biasanya buku "Do Less" itu hanya berisi cara bilang "no" ke orang lain, buku "Great at Work" ini juga berisi cara mengatasi masalah interpersonal dengan orang lain. 


Buku ini itu formal, bahasa ala profesional, dan buerat banget. Kalau nggak bener-bener dibaca oleh pembaca sasarannya/orang yang berkepentingan bakal mbosenin dan males-malesin banget, tapi kalau dibaca oleh targetnya dia (kaum intelek dan profesional dan minimal level staf) tadi buku ini bisa bermanfaat banget.

19 Maret 2022

Review Buku "The Power of Less"

"The Power of Less," the fine art of limiting yourself to the essential ... in bussiness and in life

Penulis: Leo Babauta


"The Power of Less" adalah buku tentang memilih hal-hal yang esensial. Kalau bicara esensial, biasanya dekat hubungannya dengan produktivitas, kenyamanan, keseimbangan hidup, kemudahan, dan semacamnya. 


Buku tentang ginian ini buanyak banget ya. Aku sendiri heran kenapa di luar negeri itu bisa lolos, sedangkan kalau di Indonesia penerbit suka alasan sudah banyak buku serupa di pasaran atau lainnya sehingga nggak mau nerbitin. Padahal, kalo kubaca, isinya ya gitu-gitu aja. Kadang ya kayak nggak ada bedanya. 


Buku "The Power of Less" ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian pertama berupa prinsip-prinsipnya dan bagian kedua itu prakteknya.


Kalau kubandingkan isinya/materinya dengan buku serupa, isi buku "The Power of Less" itu kurang. Tapi, dia punya keunggulan pada bahasanya yang sangat sederhana dan ringan, alurnya yang ngalir, serta keterbacaannya yang lumayan enak di mata. Isinya memang nggak lengkap atau detail banget tapi sudah mencakup masalah-masalah umum sehari-hari yang sering bikin kita kewalahan.


Buku ini cocoknya buat kamu yang suka dengan kepraktisan, males dengan yang terlalu detail atau kompleks, dan suka bacaan penting tapi ditulis ringan. Or maybe beginner or nyubi atau tahap awal aja. Kalau hal-hal yang termuat di dalam buku ini udah rapi/terorganisir dengan baik baru mungkin kamu baca buku lain. Bisa juga gitu.




17 Maret 2022

Review Buku "Rejection Free"

"Rejection Free," how to choose yourself first and take charge of your life by confidently asking for what you want

Penulis: Scott Allan


Rejection/penolakan itu sangat akrab dengan keseharian kita. Meskipun demikian, tetap saja menanganinya itu tidak sederhana. 


Beberapa tahun lalu, waktu mau resign atau baru resign, aku melamar kerja di sebuah penerbit di dekat rumahku. Teman-teman yang sekota denganku mungkin bisa nebak penerbitnya, cz di kotaku ini penerbit mayor itu nggak banyak. Di sana, aku melamar sebagai editor. Dites luama oleh bosnya dulu baru kemudian oleh mungkin kepala editornya. Di situ, sebenarnya bosnya itu melecehkan aku, ada bahasa-bahasa dan sikap tubuh yang bernada merendahkan, juga gaji yang ditawarkan itu sebenarnya terlalu rendah atau nggak layak bagiku untuk tugas sebanyak/seberat itu, tapi karena aku butuh, ya udah kuiyain, pokoknya dapat uang/pengalaman dulu. Means "aku bersedia dilecehkan/direndahkan." Kupikir di titik gaji ini aku sudah diterima, lalu aku disuruh menemui orang selanjutnya dan ternyata dites lagi. Orang tersebut ekspresinya sangat mirip robot dan ternyata aku ditolak. "Brengsek," makiku dalam hati, dengan membawa perasaan tertolak dan perasaan defect dan menyesal karena membiarkan diriku dilecehkan. Tak berhenti sampai di situ, aku bertemu intel keberuntunganku, ada murid sekolahku dulu (saat masih ngajar di skul kami gurunya nggak boleh ngelesi murid sekolah di rumah kami sendiri/pribadi, jadi pasti aku udah resign saat ini) yang les privat di rumahku, bawa buku-buku sekolahnya yang ternyata sekarang sudah ganti terbitan penerbit brengsek tadi. "Kurang ajar, dia memanipulasi aku dan memanfaatkan infoku untuk masuk ke sekolahku dulu, menggantikan penerbit lain yang sudah bekerja sama bertahun-tahun dengan sekolahku." (Ada banyak orang model gini saat aku interview di mana2, jadi aku agak males interview). Sejujurnya sih, penerbit sebelumnya juga tidaklah baik. Nggak kalah brengseknya. Aku sudah heran kenapa kok bukunya sama selama bertahun-tahun dan bener ketika aku ke toko buku (waktu itu kadang aku suka refreshing ke toko buku), aslinya harusnya bukunya udah beda. Jadi, skulku dulu itu diberi buku edisi lama selama bertahun-tahun. Aku ga tau gimana cara ngomongnya jadi aku diem aja. Cuma pertama kali kerja di sana dan aku tau bukunya kok sama selama 2 periode, aku ngerasa aneh dan sempat nanya juga, tapi entahlah ya ternyata masih pake juga sampe tahun berikutnya.


Oke, pelajarannya adalah jika kamu harus memilih antara dirimu atau uang, pilihlah dirimu. Karena jika kamu kehilangan dirimu, kamu bisa defect atau "mati" sebelum mati yang sesungguhnya. Aku sudah menolak diriku yang ori (yang aslinya tau harga itu kerendahen buatku dan tau kalau aku direndahkan) tapi tetep ditolak juga kan? Dan itu menyebabkan penyesalan yang dalam di hatiku, malu, dll. Nggak banget pokoknya.


Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang menawarkan "sesuatu" atau "seseorang" yang sangat tidak layak bagiku. Welek-welek. Misal tentang jodoh, kasarane iku "Kekno anakmu dewe gelem gak?" Dia aja nyarikan jodoh bagus untuk anaknya tapi pas nyarikan aku dengan tanpa rasa sungkan atau malu bawain calon-calon yang nggak banget. Begitupun tentang pekerjaan atau lainnya. "Noooooo. Enough. Aku nyari sendiri. Jangan tawarin aku kalo yang kamu bawa cuma gitu-gitu." How dare you! Betapa jelek kamu memandang diriku sampe nawarin yang gitu-gitu. Yah kalo dalam hal asmara/pencarian jodoh juga nggak lepas dari rejection ya, baik aku yang me-reject maupun aku yang di-reject.


Aku orang sains, dalam banyak hal aku melakukan riset atau eksperimen, termasuk dalam hal jodoh ini. Nggak seperti sosialisasi or pikiran sebagian orang ya, meskipun pria itu jelek, miskin, kerja nggak oke, atau apa pun itu nggak bikin perlakuannya lebih baik atau nggak bakal me-reject kamu. Jangan terlalu nge-up mereka dengan minta diskon ini itu dari cewek atau melakukan manipulasi-manipulasi agar cewek nerima mereka dengan mudah. Biarkan mereka berusaha, biarkan mereka memperbaiki akhlak dan hidupnya, biarkan mereka meningkatkan kualitas dirinya atau memiliki nilai lebih yang memang bisa menjadi daya tarik bagi wanita. Aku selalu berusaha mengajarkan pada siapapun wanita single yang pernah menemukan tulisanku untuk punya harga diri tinggi cz dalam pencarian jodoh itu ada banyak sekali jenis pria atau pihak lain (ustaz, birjo, birta/biro taaruf, dll) yang akan berusaha me-reject dirimu atau merusak self esteem-mu, atau semacamnya. 


Nah, buku "Rejection Free" ini Insya Allah bagus untuk membantumu menangani perasaan-perasaan yang timbul akibat penolakan, memberimu dasar pemikiran/mindset yang kuat, dan mendorongmu untuk melakukan perubahan positif dalam hidupmu, termasuk dengan cara meminta apa yang kamu inginkan. Gaya bahasanya itu sangat bersahabat, menginspirasi, dan memotivasi. Tapi ya itu, prinsip utamanya ya kamu harus terjun atau praktek. Jadi, lama-lama makin kebal. Cuma ya nggak sekadar praktek, ada tekniknya. Ini mirip sih prinsipnya sama suatu buku yang dulu pernah kubaca, tentang mengatasi rasa takut, solusinya ya kamu harus belajar berani, latihan dari hal-hal yang paling kecil/yang paling nggak menakutkan dulu. Tetep horor kan ya? Yah begitulah, semuanya butuh praktek.


Aku baca buku "Rejection Free" ini awalnya saat lagi betmut dan bundel. Buku ini memilihku. Dari berbagai judul kok lagi pengen buka yang ini, bukan buku tentang hepi atau lainnya. Dan rasanya nyamaan banget. Isinya dan cara menulisnya itu ringan, mudah dibaca, dan enak gitu. Meski dia cowok, nggak terlalu menggurui, ada empatinya dan isinya lebih ke menginformasikan/mengajak daripada menggurui. 


So, tentu saja aku sangat merekomendasikan buku ini. Kalau tentang pencarian jodoh dan hubungannya dengan empowering, kamu wajib baca "Rejection Free" ini dan "It's Not You, It's Him." Dijamin perasaanmu sing elek-elek gara-gara kelakuane cowok error ilang. 





Beli Kosmetik, Apa Hal Utama yang harus Diperhatikan?

Semakin kamu nggak punya dasar yang kuat, semakin kamu akan random.

Prinsip ini kutemukan setelah mengalami banyak hal berat/buruk dalam hidupku.

Jika kamu punya dasar pun, tapi dasarmu salah/kurang kuat, itu bisa jadi sama buruknya.


Aku peduli kosmetik itu sejak SD, terutama Sampo. Bisa dibilang aku "brai" sampo. Aku nggak akan terlalu bahas sampo, tapi mengenai pemilihan kosmetik/skin care-nya secara umum.


Dulu, aku sangat random beli samponya. Rejoice, Sunsilk, Dimension, dsb termasuk varian-variannya itu kucoba demi untuk rambut yang lebih bagus. Tapi, ternyata seperti sama aja.


Setelah besar, cara pemilihanku berubah. Aku ngikut label/iklannya: menghitamkan rambut, menyuburkan rambut, untuk kulit kering, untuk kulit sensitif, untuk membersihkan wajah, dll. Termasuk harga yang murah jadi pilihan utama.


Makin besar lagi, aku milih berdasarkan warna, tone kulit, dll.


Tambah besar lagi, aku baca komen-komen dan rating produk di marketplace, di website kumpulan review, di blog-blog milik beauty blogger/beauty vlogger/youtuber, dll.


Nah, sampai suatu hari aku merasa semuanya salah/bukan yang utama. Warna atau tone sudah mirip tapi gatel, udah sesuai saran youtuber tapi gatel, muka bener cerah tapi gatel. Bahkan, beli yang udah berlabel untuk kulit sensitif tetep gatel, kering, ngglodoki, dsb. Taunya apa, salah satunya karena lidah buaya/aloe vera. Banyak produk kecantikan terutama yang untuk hidrasi, melembabkan, melembutkan, atau kulit sensitif pake lidah buaya. Sedangkan aku baru nyadar kalo alergi lidah buaya.


Begitupun dengan sampo, gonta-ganti sampo apa pun tetep gatel, berketombe, kusam, bercabang, atau rontok parah.


Lipstik, odol, dll juga sama. Ada bahannya enak tapi warnanya dengdong, ada lipstik yang langsung bikin sariawan, ada odol yang kayaknya bikin mulut sobek, dll.


Termasuk jika kamu hanya ngikutin review-review dari beauty blogger/beauty vlogger/youtuber, itu belum tentu cocok buatmu. Baik tentang warna kulitnya, tone-nya, pengaruh bahan-bahan di dalamnya, maupun lainnya.


Aku pernah ngikut seorang beauty vlogger, beberapa produk. Ternyata produk yang direkomendasikan nggak enak di aku. Gatel. Ada juga yang bikin panas atau bruntusan. Kuriset produk lain yang disarankannya ternyata ada yang mengandung alkohol (yang nggak ditulis jenis apa, takutnya haram) dan ada juga yang mengandung aloe vera. Iya di dia fine-fine aja, di aku? Horor.


Jadi, masalah gatel, banjir di daerah T, muncul lemak-lemak putih di wajah, jerawat yang besar-besar (yang kayak bantat), bruntusan, panas, sariawan, sobek, rambut bercabang, ketombe, dll itu semua karena aku nggak punya dasar yang kuat atau dasar memilihku salah.


Nah, apa sebenarnya dasar utama dalam pemilihan kosmetik?


Semua dasar di atas, misalnya review, label pada produk, dll bukan nggak berfungsi ya, tapi kamu butuh lebih dari itu, yaitu kandungan bahannya. Bahannya kira-kira aman atau tidak, cocok atau tidak buat kamu, dan sesuai atau tidak dengan kebutuhanmu. Selain itu, apa kebutuhan utama/produk utama untuk mengatasi masalahmu. Step pertamanya itu apa. Itu yang menurutku terpenting. Urutannya ya, jangan loncat. Dan jangan lupa, yang sudah terdaftar di BPOM ya, cek KLIK dulu dan kalau bisa cek juga nomer registrasinya di web BPOM. 


Jadi, ketika aku butuh fungsi X (mengatasi masalah A dulu), aku akan cari produk-produk tahap pertama yang punya fungsi X. Lalu, aku lihat pada toko atau review kandungannya apa saja. Kalau ada etanol, NO. Kalau ada alkohol (ga jelas jenis apa) kuhindari, tapi terutama aku lihat ada kandungan aloe-nya atau tidak. Aloe apa saja, mau aloe vera kek, aloe barbadensis kek, pokok'e aloe. Trus kuperhatikan kandungan-kandungan yang di-warning oleh reviewer-reviewer, meskipun belum tentu nggak cocok di aku atau bikin aku alergi. Selain itu, perhatikan urutan penulisan bahannya pada produk. Bahan-bahan yang di-warning kalau bisa jangan ada di urutan atas dan kalau bisa jangan terlalu banyak macamnya.


Aku mengamati, brand tertentu serta brand-brand lokal tertentu cenderung pake kandungan yang sama. Jadi, kamu harus hati-hati, baik terhadap variannya maupun rangkaian produknya. Kalau kamu cocok, kemungkinan kamu akan cocok dengan varian lain atau produk pada step selanjutnya mungkin lebih besar, tapi kalo nggak? Ya kebalikannya juga berlaku, kemungkinan nggak cocok terus akan lebih besar. Kenapa? Karena mungkin terkait diversifikasi atau efisiensi atau penghematan dan kepraktisan gitu lah ya. Misal pabriknya kulak lidah buaya, ya sekalian buat varian A, varian B, untuk wajah, untuk bibir, untuk pembersih, untuk pelembab, dll. Selain itu, mungkin terkait harga. Harga bahan itu kan ada range-nya, brand itu bermain di level apa? Level bawah ya bisanya pake bahan murah atau ada bahan mahalnya tapi dikit banget/urutan bawah, dll. 


Yah, begitulah, harga membawa rupa. Itu kenapa orang semakin kaya semakin cantik atau ganteng itu biasa.


Sekarang pilihannya 2, kamu mau ribet riset dulu apa mau random dan berisiko menyebabkan tubuhmu "nyenyek tun" atau kena berbagai masalah yang entah bisa balik/pulih atau tidak, bisa pulih cepat atau tidak, gawat atau tidak, dll. 


Yang kualami ya, tadinya aku mau nyoba produk-produk murah tapi pada nggak cocok.

Murah 1+murah 2+murah 3+ murah 4 dst = mihil bingit + risiko di kulit/tubuh/rambutmu+biaya pemulihannya.


Murah nggak papa, asal memenuhi dasar-dasar di atas tadi: aman, cocok buatmu, sesuai dengan kebutuhanmu, sesuai step-nya. 


Dengan dasar pemilihan yang lebih baik, alhamdulillah wajahku baikan. Fungsinya juga terasa dan risikonya semakin minim.

Aku tetep belum ahli soal ginian, tetapi kemampuanku sudah membaik. 


Barangkali ada dari kamu yang seperti aku dulu, jangan sampai mengulangi kesalahan-kesalahanku. Terus terang aku telat nyadarnya. Semoga kamu tidak.









10 Maret 2022

Review Buku "But He Says He Loves Me"

"But He Says He Loves Me," how to avoid being trapped in a manipulative relationship

Penulis: Dina L. McMilland PhD


You know, sudah lama aku mendalami tentang masalah abuse ini dan itu sangat sangat rumit dan kompleks. Bahkan, para ahli pun nggak semua bisa mendeteksinya. Sementara para ahli yang bisa mendeteksi pun kadang sepertinya hanya bisa mendeteksi parsialnya. Apalagi aku, meski aku berikhtiar keras untuk bisa memahami dan terhindar dari abuser itu sama sekali nggak menjamin aku akan terbebas/selamat dari mereka.


Lalu bagaimana menurutmu dengan orang yang nggak belajar tentang abuse sama sekali? Ditambah dengan sifat lugu, murah hati, atau positive thinking-nya, yang memang biasa jadi sasaran para abuser, ya malah sulit untuk percaya atau ngasih tau mereka. Paling-paling yang ngasih tau yang akan dianggap jahat atau dicap macem-macem sama dia.


Sering sekali aku ketemu abuser yang tampaknya sangat lugu atau alim tapi aslinya licik banget atau bahkan mengerikan. Dan sering juga aku berusaha ngingetin orang-orang di sekitarku atau siapa aja yang mungkin jadi korban abuse tapi selain sepertinya aku dianggap aneh, ga ada yang percaya. Di sisi lain, sebenarnya itu danger atau danger banget buatku karena posisiku sangat lemah dan rentan dan mungkin bisa diapa-apain balik oleh abuser-nya. Selain itu, edukasiku sering seperti pisau bermata dua atau bahkan ga tepat sasaran, karena target yang kutuju itu kayak ga terlalu peduli, sementara para abuser tadilah yang baca atau nonton, yang membuat mereka semakin canggih dan meng-update teknik/strateginya. 


Kamu percaya gak? Di buku "But He Says He Loves Me" ini pun penulis memuat hal tersebut, bahwa para abuser itu banyak yang meng-update teknik-teknik untuk mendekati orang lain, seperti membaca buku "How to win friends and influence people" karya Dale Carnegie, buku tentang kepemimpinan, hipnotis, atau buku-buku tentang abuse itu sendiri. Aku juga sering ngomong ke temen-temenku, buku-buku untuk cowok mayoritas itu tentang cara membawa cewek ke k*sur, teknik-teknik PDKT yang ga normal, dll. Begitupun tentang video/coaching untuk cowok atau dari coach cowok tapi untuk cewek, gak jauh-jauh dari urusan s*langkangan atau kepentingan cowok itu sendiri.


Yang ga ngerti ginian pasti nganggep aku parno, negative thinking, korban abuse, atau semacamnya. Ini rumit sodara-sodara. Serius pol.


Beberapa teman yang sempat kuamati atau berinteraksi denganku tentang perilaku abusive ini bahkan ga sadar kalau pasangannya itu abuser atau telah melakukan perilaku abusive. Mungkin juga kamu salah satunya.


Kalau yang ranah pribadi seperti itu mungkin kamu nggak terlalu tahu ya, bagaimana dengan yang ini. Beberapa kali aku menemukan abuser terang-terangan melakukan kekasaran atau pelecehan di muka umum dan semua orang atau nyaris semua yang tahu diam saja. Aku pun pernah jadi korban hal tersebut beberapa kali dan semua orang diam, yang bicara sedikiiiit banget, itu pun kemungkinan hanya yang pernah jadi korbannya juga. Bisa dihitung jari. Jadi misal total orang di sana ada ratusan atau ribuan, yang peduli itu mungkin cuma 1 sampai 3, kadang dari 3 itu ada yang gak terlalu peduli juga, angin-anginan atau gak ngurus atau takut. Ada yang sok bijak/netral, ada yang memang bodoh/lugu, ada yang lemah/penakut, ada yang cuek, ada juga yang belain abuser-nya. Jadi, kasus-kasus dengan abuser itu tanpa harapan, baik di psikolog atau psikiater atau terapis, maupun di kepolisian, pengadilan, atau lainnya. Very very rumit dan kompleks. Hanya jika kamu bisa membela dirimu sendiri, mungkin kamu akan selamat, seperti pernah kejadian pada seorang wanita yang dilecehkan dan dikasari di depan umum oleh seorang abuser, tetapi wanita itu kuat dan tangguh dan pinter bicara juga sehingga waktu itu abuser-nya kalah, walaupun ga ada yang bantu atau peduliin dia. Semua yang di sana hanya menonton. 


Kadang, pada kasus seperti ini, ada orang "pembuka"-nya, begitu dia speak up, dia bisa mengajak segelintir kuecil orang lain untuk peduli. Kalo nggak ada orang seperti ini, kemungkinan semua hanya jadi penonton lebih besar.


Oke, mari kita masuk ke bahasan buku "But He Says He Loves Me." Buku "But He Says He Loves Me" ini adalah salah satu buku terbaik tentang abusive relationship versi saya, selain "Why Does He Do That." Buku ini ditulis dalam 2 versi, halaman kiri adalah versi abuser sedangkan halaman kanan adalah versi penulis/ahli. Sepintas format ini tampak aneh dan kurang nyaman dibaca, lebih enak kalau versi penulis dulu ditulis sampai selesai baru kemudian versi abuser ditulis sampai selesai. Tapi, pembuatan format halaman kanan dan kiri ini ada maksudnya, halaman kanan itu jadi semacam terjemahan atau bantahan atau klarifikasi dari halaman kiri milik abuser. Halaman kiri itu ditunjukkan agar kamu tau "suara" asli abuser itu kayak apa salah satunya. Dan kedua versi halaman ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk menunjukkan betapa licik, manipulatif, cerdik, dan terencananya abuser ini.


Aku sudah banyak membaca buku tentang abuse dan bisa kubilang isi buku ini itu nggak pasaran. Dia seperti dapat dari hasil atau kesimpulan dia sendiri/ori, mungkin dari risetnya, praktek sesi terapinya, atau entah apa. Beda gitu. Nggak kayak copas. Kadang hal seperti ini dibutuhkan juga untuk menghindari kesalahan turun-temurun karena jika kita menuju pada literatur yang sudah ada saja, kita nggak akan dapat kebaruan. 


Secara umum isi buku ini adalah tentang proses abuser mulai dari ngincer sampai ketika korbannya sudah kena/berkomitmen. Halaman kiri itu abusernya yang ngomong, dengan segala kebohongan dan kelicikan atau manipulasinya dan halaman kanan itu ahli/penulisnya yang ngomong.


Buku ini aslinya enak dibaca, cuma format kanan-kirinya yang agak nyusahin. Secara isi buku ini bagus banget dan akan menambah wawasanmu tentang abuser. Akan tetapi, seperti yang kubilang di awal, isinya mungkin mencakup atau cenderung tentang sebagian kelompok abuser saja, yaitu abuser yang berasal dari kelompok yang lebih "atas". Lebih "atas" di sini maksudnya bukan hanya tentang uang, tetapi bisa juga umur, fisik, atau lainnya. Sebenarnya dia membagi abuse ini menjadi 3 kategori sih, mungkin juga kelompok yang lebih "bawah" masuk ke dua kategori lainnya. Hanya saja, karena agak implisit, kuatirnya disalahartikan oleh pembaca bahwa kelompok yang lebih "bawah" itu pasti lebih baik atau nggak akan berbuat abuse.


Jadi, kamu harus tahu kalau abuse itu kompleks banget. Abuser itu bisa berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang, dan sangat licik. Meskipun ga ada jaminan bagimu untuk benar-benar selamat atau terhindar dari abuse, setidaknya dengan membaca buku "But He Says He Loves Me" ini kamu bisa meminimalkan risiko untuk menjadi korban abuse atau menjadi korban abuse lebih jauh lagi. Artinya, andaipun kamu masih ketipu oleh abuser, kamu nggak akan ketipu lebih jauh atau nggak akan ketipu dengan durasi lebih panjang atau efek lebih buruk daripada jika kamu nggak membekali diri sama sekali pengetahuan tentang abuse ini. 


Buku "But He Says He Loves Me" ini sangat kurekomendasikan.





07 Maret 2022

Review Buku "The Excellence Habit"

"The Excellence Habit," how small changes in our mindset can make a big difference in our lives

Penulis: Vlad Zachary


Buku tentang habit itu sudah pasaran sekali. Buanyak sekali ditemui. Tapi di sini (pada cover depan buku "The excellence habit" ini) yang menarik perhatianku adalah frase "small changes"-nya. 


Mulanya aku nggak terlalu memperhatikan kalau ada kata "mindset" pada subjudulnya. Baru nyadarnya setelah agak lama.


Nah, kata "mindset" inilah yang menjadi pembeda utama dia dari buku-buku sejenis.


Sesuai judulnya, isinya masih berhubungan dengan perubahan mindset. Dia beda jauh dari buku-buku habit pada umumnya. Biasanya buku-buku habit ya isinya gitu-gitu aja, masih mirip, tapi yang ini baik format maupun isinya beda. Bukan sekadar parafrase ya, tapi isinya memang beda. Gaya penulisan dan isinya itu beda.


Dari judul dan subjudul ini kamu bisa tahu kalau Vlad Zachary ini masih termasuk kubu yang bermain di ranah pikiran. Ada kubu lain yang bermain di ranah tindakan. Bahkan, ada seorang ahli (Richard Wisemann) yang terang-terangan memberi judul bukunya "Lupakan berpikir positif, saatnya bertindak positif."

Menurutku, "mindset yang tepat" masih termasuk ke dalam ranah berpikir positif ya.


Jadi, perbaikan itu bisa dicapai melalui pendekatan pikiran dan pendekatan tindakan. Lebih baik lagi jika kamu bisa melakukan keduanya sekaligus. Di dalam buku "The excellence habit" ini pun sebenarnya isinya mengandung kedua pendekatan ini, bukan pendekatan mindset saja. Karena keduanya memang saling mempengaruhi. Namun, pendekatan tindakannya tidak sebanyak/sedetail yang ada di buku "Lupakan berpikir positif, saatnya bertindak positif."


Buku ini bahasanya formal, memuat banyak simbol/kiasan dan juga kisah-kisah sukses dari orang-orang yang berhasil memperbaiki mindsetnya.


Ini seingatku buku ke dua yang kutemui yang ucapan terima kasihnya (acknowledgement-nya) ada pada bagian belakang buku. Aneh aja sih karena biasanya nemu di bagian depan. Selain ucapan terima kasih, di bagian akhir juga ditambahkan hal-hal yang menurut penulisnya menarik dan penting untuk diketahui.


Kalau kamu pengen baca buku habit yang agak beda dari kebanyakan, bolehlah pilih buku ini. 



Review Buku "Riches in Niches"

"Riches in Niches", how to make it big in a small market

Penulis: Susan Friedmann


Beberapa waktu lalu aku sudah membahas tentang generalis yaitu pada buku "How to be Everything". Aku juga sudah membahas buku tentang niche yang ternyata isinya nggak bahas niche sama sekali. Nah, kalau "Riches in Niches" ini beda, dia sangaaaat detail. 


Buku ini akan membimbingmu untuk mencari niche yang tepat, mulai dari mempertimbangkan opsi-opsi yang kira-kira cocok untuk jadi niche-mu, mengeksekusinya, sampai dengan membawamu pada kesuksesan ada di dalamnya. Jadi, di dalamnya itu ada brainstorming, planning, branding, marketing, targetting, positioning, executing, dll.


Step by step di dalamnya itu lengkap banget. Bacanya pun enak karena selain penulis itu membimbingmu dengan sabar dan gaya bahasa yang sangat bersahabat, ini layoutnya juga lumayan enak. Ada space yang enak untuk mata dan indah. Margin-marginnya, menjorok-menjoroknya, jarak antar paragraf, box untuk ringkasan, dll-nya itu sangat mendukung kenyamanan baca buku ini.


Susan Friedmann, penulisnya pun tampaknya rendah hati orangnya. Kata-katanya itu nggak pake menghina-menghina, nyindir-nyindir, berantem/bantah-bantahan, otoriter, dan semacamnya, tetapi lebih pada membimbing/mengarahkan dengan santun. Walaupun posisi pembaca dan penulis memang vertikal (penulis lebih tinggi posisinya/sebagai ahli) tapi penulis nggak sok atau ngerendah-rendahin pembaca. Kayak tulus gitu lho pengen pembaca bisa sukses seperti dia. (Btw, aku lebay gak sih ngomong soal tulus? Kayak tau dia aja.)


Aku nggak ngomong isi buku ini mudah diterapkan, tapi penulis itu seperti sudah berusaha banget untuk bisa mentransfer ilmunya dan menyampaikannya dengan sebaik mungkin, dengan bahasa se-santun mungkin.


Aku berusaha mencerna buku ini pelan-pelan. Ya walau nggak 100% masuk, tapi ya nggak 0% juga.


Pokoknya ini bagus banget dan sangat aku rekomendasikan. TITIK. 



06 Maret 2022

Review Sample Buku "How to Get A Date Worth Keeping"

"How to Get A Date Worth Keeping"

Penulis: Henry Cloud


Aku sudah membaca beberapa buku Henry Cloud. Kalau "How to get a date worth keeping" ini aku cuma baca sample-nya. 

Menurutku, buku-buku Henry punya beberapa ciri umum:

1. Detail,

2. Nggak terlalu berperasaan (mungkin dalam MBTI dia termasuk tipe T (thinking) dan mungkin ditambah juga karena dia cowok atau gimana),

3. Blak-blakan banget,

4. Dari beberapa buku yang kubaca biasanya menunjukkan dia ingin/sedang melawan nama orang tertentu dan membuktikan kalau orang itu salah dan dia benar. Kadang kesannya kayak ngrasani di dalam buku dan rasa untuk menunjukkan dia benar-nya itu tinggi.

5. Biasanya sarat dengan ayat-ayat Kr*sten (Ayat-ayat Kr*stennya itu banyak banget untuk ukuran buku umum. Atau bukunya memang buku rohani? Ga tau juga.),

6. Tulisannya cukup halus tapi mengandung muatan yang kasar.

Jadi, mungkin dia itu orang tipe T (thinking), koleris, sisi controllingnya kuat, atau gimana, kesanku terhadap tulisan/buku-bukunya seperti itu.


Dan sample buku "How to get a date worth keeping" ini pun sepertinya begitu.


Keunggulan dari buku-buku Henry biasanya detail. 


Kalau kamu masih dalam fase "butuh divalidasi" dan bukan dalam fase "siap berubah", sebaiknya jangan dulu baca buku Henry. 


Sample buku ini daftar isinya lumayan bagus. Untuk sebuah sample buku, daftar isi wajib bagus dan wajib untuk bisa memotret isi buku secara keseluruhan, karena pembaca kan nggak bisa lihat-lihat dulu seluruh bukunya. Jadi, dengan sifat detailnya Si Henry ini, daftar isinya pun lumayan detail.


Untuk sample-nya sendiri nggak banyak yang bisa diintip, selain daftar isi dan kisah sukses dia membantu seorang wanita serta latar belakang penulis.


Yah, seperti itu. Kira-kira dengan uraianku di atas, kamu tertarik nggak baca buku ini? 

04 Maret 2022

Review Buku "The Uses of Sadness"

"The Uses of Sadness," why feeling sad is no reason not to be happy

Penulis: Karen Masman


Buku "The Uses of Sadness" ini saya kategorikan sebagai buku yang unik. Judul dan deskripsi judulnya itu begitu kontras/bertolak belakang. Bagaimana bisa sedih dan bahagia itu ada bersama-sama.


Begitu masuk ke dalam kita akan disuguhi dengan layout yang lumayan bagus, tetapi hanya sebatas bagus secara tampilan. Kalau untuk kenyamanan mata membaca dan kesesuaian dengan daya konsentrasi masih kurang. Nggak jelek juga, kurang aja. 


Di sini, Karen Masman menjabarkan perspektif uniknya tentang kesedihan melalui 7 tahap. Masing-masing tahap diuraikan ke dalam bab tersendiri. Tapi bacanya harus urut ya karena ini tahapan.


Yang paling kusukai dari buku ini adalah bagaimana penulis membedakan antara sedih dan depresi. Pada masyarakat kita, menanggung kesedihan itu susah sekali, yang dianggap lemah lah, jauh dari Tuhan lah, kurang bersyukur lah, suka mengeluh lah, stres lah, depresi lah, dan sebagainya. Jadi seolah-olah kita itu nggak boleh sedih. Kalau kita sedih berarti kita itu nggak beres atau ada yang error dalam diri kita. 


Penulis kemudian mencoba menjelaskan perbedaan antara keduanya melalui cara-cara kreatif yang digunakannya. Setelah itu dia mencoba menghubungkan kita dengan kesedihan kita itu sendiri, apa penyebab ori-nya dan bagaimana cara berdamai dengannya, yaitu melalui 7 tahap tadi. Di situ pulalah nanti kita akan tahu apa manfaat dari kesedihan tersebut. 


Tak lupa pula penulis menunjukkan mengapa sedih dan bahagia bisa ada bersamaan, dan mengapa itu nggak aneh. Ada banyak hal yang seperti berlawanan tetapi tidak, lalu penulis memberikan beberapa contohnya, misalnya: PD tapi insecure. (Dari sini tiba-tiba aku ingat teman-teman penulis yang bikin karya fiksi, waktu nyari karakter tokoh yang unik atau waktu bikin premis. Tuh bisa, kan?)


Semua orang itu mengalami masa sedih karena itu bagian dari kehidupan. Itu pun nantinya akan berlalu juga. Jadi, ketika kamu nanti sedih, laluilah kesedihanmu dengan mengikuti ketujuh tahapan tadi. Begitulah saran dari penulis tersebut. 


Pendekatannya unik pokoknya, begitupun praktek-praktek yang dilakukan di dalam buku ini, unik dan kreatif. Pendekatan yang aneh tapi boleh juga untuk dicoba. 


03 Maret 2022

Review Buku "175 Ways to Get More Done in Less Time"

175 Ways to Get More Done in Less Time

Penulis: David Cottrell & Mark C. Layton


Buku "175 Ways to Get More Done in Less Time" adalah buku yang pas banget untuk orang sibuk. Ia ditulis hanya berupa poin-poin, tak ada yang lain.


Sebanyak 175 poin di dalamnya ini merupakan solusi atas berbagai permasalahanmu tentang produktivitas, baik itu tentang produktivitas di rumah, di tempat kerja, penggunaan telepon/voice mail/email, saat rapat, di jalan, serta tentang mengorganisir diri sendiri.


Isinya gitu doang. Tapi enak juga karena nggak bertele-tele dan kita bisa cepat mendapatkan solusi yang kita butuhkan.



02 Maret 2022

Review Buku "How to Create $1600 Per Month Niche Websites for Passive Income"

"How to Create $1600 Per Month Niche Websites for Passive Income"

Penulis: Dave Hedley


Buku "How to Create $1600 Per Month Niche Websites for Passive Income" ini adalah buku tentang SEO, terutama SEO untuk afiliasi.


Dia berisi tentang cara-cara untuk menduduki halaman awal Google, baik alat-alatnya (tools-nya), arti istilah-istilah, cara mengoptimalkan pemasukan web/afiliasi yang kamu lakukan, termasuk hal-hal penunjang baik itu yang gratis maupun yang berbayar.


Buku ini halamannya sedikit, tulisannya buesar-buesar, dan marginnya terlalu mepet pinggir. Secara muatan/isi, dia to the point, langsung ke intinya. 


Aku mendapatkan beberapa wawasan baru dari sini, tapi belum kucoba. Sayangnya, buku ini mengandung apa yang kuistilahkan dengan "lubang." "Lubang" ini semacam jembatan yang putus. Dia ada di bagian bahasan tentang niche itu sendiri, yang notabene menjadi judul/tema besar buku ini. Oleh karena itu, aku tetap nggak paham bagian tersebut. Pemahamanku terputus/tidak komprehensif.


Entah kenapa banyak buku punya "lubang" semacam ini. Kayak keburu-buru, males, menganggap pembaca sudah tahu, nggak ikhlas, sengaja nyembunyiin, atau apa gitu lho. Jadi, buat dipraktekin beneran itu susah, nggak lengkap/detail materinya.


Tapi, aku sendiri udah pernah belajar SEO, jadi masih paham dikit-dikit plus masih bisa memahami beberapa ilmu tambahan di dalamnya.


Buatku pribadi, buku ini targetnya tidak tercapai, karena aslinya tujuan utamaku baca buat nyari niche, eh malah "lubang"-nya ada di niche-nya.

01 Maret 2022

Review Buku "Hyperfocus"

Hyperfocus: how to be more productive in a world of distraction

Penulis: Chris Bailey


Kamu males nggak misal disuruh baca ratusan atau ribuan referensi tentang manajemen waktu? Males, kan ya? Kalau aku sih males. Kalau nggak kepepet banget ya nyari yang praktis aja.


Nah, buku "Hyperfocus" ini adalah hasil dari riset penulisnya terhadap ratusan atau ribuan literatur tentang manajemen waktu. Bisa dibayangin kan betapa kaya isi buku ini. Jadi, kalau kamu nyari buku tentang manajemen waktu bisa lah ya baca buku ini.


Lho, kok manajemen waktu? Bukannya judulnya tentang fokus-fokus gitu?


Nah, itu dia, ternyata nyambungnya ke sana. Bahasan tentang fokus ini trus nyambung ke produktivitas, dan kalau udah ngomong soal produktivitas biasanya nggak jauh-jauh dari manajemen waktu.


Tadinya kupikir fokus itu akan berhubungan dengan khusyu', mindfulness, bisa bikin patah hati atau masalah-masalah nggak terlalu mengganggu (ya mungkin termasuk mindfulness juga ya), dan semacamnya. Pokoknya tentang kontrol pikiran. Ternyata arahnya lebih mirip 3 buku kemarin, yaitu "How to be Everything," "Learning How to Learn" dan "Rest."

Semuanya berkaitan dengan 2 cara kerja otak. Bedanya, selain pada istilahnya juga pada penekanannya. Kalau "How to be Everything" nggak bahas otaknya, dia cuma bahas kalau kita mampu menguasai/bekerja pada lebih dari 1 bidang. Kalau "Learning How to Learn," dia bahas cara kerja otaknya, fungsi masing-masing saat ganti mode, dan bahwa kita mampu menguasai lebih dari 1 bidang sekaligus, termasuk bidang yang sebelumnya sulit kita kuasai atau bidang yang sepertinya berlawanan. Sedangkan "Rest" isinya lebih ke salah satu cara kerja otaknya, manfaat kalau sedang dalam mode istirahat, dan istirahatnya dalam bentuk apa saja. Nah, kalau "Hyperfocus," isinya tentang 2 cara kerja otak, tapi dia pake istilah "hyperfocus" (mode produktif) dan "scatterfocus" (mode kreatif), dan keduanya masing-masing dijabarkan tersendiri cara masuk ke mode tersebut dan cara pakenya. Selebihnya, isinya dominan tentang produktivitas dan manajemen waktu. Gimana cara kamu fokus, mengatasi masalah internal dan eksternal, gitu-gitu. Bahasannya gitu, yah seperti buku produktivitas dan manajemen waktu pada umumnya. Poin-poinnya/strateginya aja yang beda, terutama karena mungkin dia orangnya lebih nggak enakan daripada penulis-penulis buku produktivitas dan manajemen waktu pada umumnya. Masih ada sisi nggak tega, nggak enak, sungkan, susah nolak, nggak teges, sisi berperasaan, sisi manusiawi, sisi luwes/fleksibel, atau entah apa kamu nyebutnya. It depends on you. Selama aku baca buku ginian, juarang atau bahkan nggak pernah kayaknya nemu yang kayak gini. Biasanya ya "Kamu harus bisa 'cut' ini," "Kamu harus bisa 'cut' itu." Gitu. 


Terus, tentang mindfulness sendiri ternyata beda dengan fokus. Kalau "mindfulness" itu fokus ke kondisi sekarang, kalau "fokus" itu fokus ke 1 hal aja. 


Tapi sebenarnya manusia itu bisa multitasking sih, makanya buku ini diawali dengan pembagian aktivitas dulu menjadi 3:

1. Aktivitas harian kecil yang nggak butuh mikir,

2. Satu aktivitas besar dan satu aktivitas kecil,

3. Aktivitas yang butuh mikir banget.


Kalau kamu multitasking pada aktivitas yang salah, ya alamat error/berantakan/kecelakaan.

Bagian ini adalah poin lebih/poin menarik dari buku ini menurutku, selain tentang nggak tegaan-nya tadi. Itu sesuatu yang baru buatku.


Yah, seperti itulah isi buku ini. Tertarik baca? 




 

Risiko Jika Sholatmu Membaca Surat yang Itu-Itu Saja

 

Sebagian orang mungkin sholat dengan membaca surat pilihan yang itu-itu saja, entah karena itu surat favoritnya atau memang bisanya/hafalnya hanya surat itu.


Ternyata, kebiasaan ini berbahaya. Dia punya potensi risiko yang besar, terutama jika kamu tidak istiqomah/rutin membaca Al Quran beserta artinya. Bahkan, jika membaca Al Quran terlalu sedikit atau lambat per harinya pun masih memiliki risiko ini.


Apakah risiko/bahaya itu? LUPA.


Jika kita ingat lagi, cara komunikasi utama seorang muslim dengan Tuhannya ada 2:

1. Jika kamu ingin berbicara dengan Tuhanmu, maka sholatlah, dan

2. Jika kamu ingin Tuhan berbicara kepadamu, maka bacalah Al Quran. Dan karena Al Quran itu tidak dalam bahasa Indonesia, maka lebih baik lagi jika saat membaca Al Quran kita sertai dengan membaca terjemahannya (terjemahan Al Quran) juga. 


Iman itu naik turun. Kuatirnya jika kamu sehari-harinya hanya membaca surat yang itu-itu saja saat sholat, sementara saat kamu sedang futur (imanmu turun) kamu terlepas dari Al Quranmu sama sekali (dan sulit untuk rajin mengaji lagi) maka hafalanmu yang sebelum-sebelumnya bisa hilang. Kamu menutup sarana Tuhan untuk bercakap-cakap kepadamu. Akibatnya, kamu mungkin akan semakin sering lupa akan ajaran-Nya, perintah dan larangan-Nya, penghiburan-Nya, kisah-kisah/sejarah/pelajaran dari umat terdahulu, dll. Selain itu, kamu akan semakin sulit untuk mencapai derajat yang tinggi di surga karena banyaknya hafalan Quranmu akan menentukan kamu berada di tingkat surga yang mana.


Itu hanyalah beberapa contoh kerugian/risiko yang bisa terjadi jika bacaan surat pilihan di dalam sholatmu itu-itu saja (surat yang sama).