27 Februari 2022

Review Buku "Rest"

Rest: why you get more done when you work less.

Penulis: Alex SooJung-Kim Pang


Kemarin, buku "How to be Everything" sudah membahas bagaimana orang itu bisa sukses dalam berbagai bidang sekaligus, yang disebut multipotentialite, generalis, atau semacamnya. Kemudian setelahnya aku mereview buku "Learning How to Learn," yang isinya ternyata masih berhubungan, malahan minat yang satu dengan minat yang lain dikatakan bisa saling mendukung dan membuatmu menonjol dibandingkan dengan orang yang hanya fokus mempelajari 1 bidang atau materi. Di sini, Barbara Oakley menjelaskan mengenai 2 cara kerja otak, yaitu otak fokus dan otak difus. Nah, otak difus inilah yang dijelaskan oleh Alex Soojung-Kim Pang pada buku "Rest" ini, tapi istilahnya beda. Dia tidak pakai istilah otak difus, tapi aku lupa apa.


Otak difus bisa distimulasi dengan olahraga, seni, tidur siang, istirahat, atau hal-hal lain yang merilekskan. Berbeda dengan keyakinan banyak orang, istirahat bukanlah sesuatu yang pasif dan tidak produktif. Sebaliknya, kita harus menganggap istirahat sama pentingnya dengan kerja itu sendiri. Dengan istirahat ini otak bisa memulihkan diri, memiliki refleks lebih baik, kemampuan belajar lebih baik, kemampuan membuat keputusan lebih baik, ide-ide baru bermunculan, dan sebagainya. Jadi, hasil terbaik itu bukan didapatkan dari mereka yang bekerja dalam waktu terpanjang, tetapi mereka yang memiliki ritme yang tepat antara waktu bekerja dan istirahatnya.


Selain itu, istirahat ini juga memungkinkan orang untuk menguasai bidang yang sepertinya bertentangan, seperti seni dan sains, olahraga dan sains, sains dan bahasa, atau lainnya. 


Istirahat yang dimaksud di dalam buku ini ada yang berupa istirahat harian dan ada juga yang bulanan atau tahunan, yang disebut dengan sabbatical. Ada desainer yang setiap 7 tahun sekali itu istirahat setahun, ada juga koki yang istirahat 6 bulan setiap tahunnya dengan menutup restorannya lalu mencoba bereksperimen dengan bahan baru, resep baru, atau masakan baru. Ketika mereka kembali dari istirahatnya, mereka kembali dengan ide-ide baru yang fresh.


Jadi, kita harus tahu kapan menggunakan otak fokus dan otak difus kita dan harus bisa split/ganti mode dengan mudah. Kemampuan itulah yang nantinya menunjang pembelajaran atau kesuksesan kita. Dengan kata lain, kita harus bisa hidup seimbang, nggak kerja melulu.







26 Februari 2022

Review Buku "Learning How to Learn"

"Learning How to Learn," how to succeed in school without spending all your time studying

Penulis: Barbara Oakley, Terrence Sejnowski, dan Alistair McConville.


Ini adalah hari terakhir aku mempraktekkan bidang pertama yang kutargetkan untuk kukuasai, yaitu Speed Reading. Sebenarnya buku acuan awalku adalah buku tentang belajar apapun dalam 20 jam sih, tapi masih berhubungan jadi kusinggung di sini.


Jadi ceritanya aku itu belum berhasil mencapai targetku. Selain aku nggak konsisten menggunakan caranya, aku juga nggak konsisten tentang waktunya. Kayaknya ada hari di mana aku overdosis belajarnya, trus otakku "meleduk" dan badanku error trus kecepatan dan latihanku menurun pada hari-hari berikutnya. Jadi mungkin secara kemampuan harian aku dan penulis tersebut sudah beda, tapi aku usahakan tetep baca tiap hari. Cuma sering lupa bacanya baca biasa.


Trus aku random aja moodku pengen baca yang mana. Ya udalah baca buku "Learning How to Learn" ini yang kupilih karena masih berhubungan. Pas lihat sekilas kok bagus, ya udah kuterusin.


Buku "Learning How to Learn" adalah buku tentang strategi belajar. Aslinya ditujukan untuk anak dan remaja, tapi bisa juga digunakan untuk umum.


Buku ini disusun oleh 3 orang pembelajar yang hebat. Mereka masing-masing punya bidang yang sepertinya mudah mereka kuasai dan bidang yang sulit mereka kuasai. Dua di antaranya kesulitan dalam bidang matematika dan sains, sedangkan yang satu lagi sebaliknya, mudah dalam sains tetapi kesulitan dalam bidang lainnya. Kalau biasanya orang hanya mengasah bidang-bidang yang mudah baginya, mereka tidak. Mereka merasa dalam kehidupannya/pekerjaannya itu butuh bidang lain yang sulit mereka kuasai tersebut sehingga mereka meluaskan peluangnya dengan kembali menjadi pemula (pada bidang yang sulit dikuasai tersebut) dan dalam proses tersebut mereka menemukan metode belajar yang tepat. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa antara subyek yang satu dengan subyek yang lain itu sebenarnya berhubungan. Orang yang belajar subyek X saja dengan orang yang mempelajari subyek Y dulu baru belajar subyek X itu hasil/pemahamannya bisa berbeda. Kalau dari buku yang baru kureview kemarin itu disebut keuntungan menjadi seorang generalis.


Singkat kata, ketiganya akhirnya berhasil menjadi ahli pula pada bidang-bidang yang tadinya sulit mereka kuasai tersebut. Ini kusebut mindset keberlimpahan. Meskipun, aku sendiri selama ini belum berhasil menerapkannya.


Berbeda dengan Barbara yang pandai bahasa atau Terrence yang pandai fisika, setidaknya mereka bisa jadi guru atau penerjemah hanya dengan 1 bidang saja. Sementara aku? Hasil tes IQ-ku waktu SMP dan SMA mengatakan pemahamanku di atas rata-rata. Itu abstrak bagiku. Pemahaman? Buat kerja apa? Nggak bisa berdiri sendiri. Kali lain aku tes bakat dan minat sendiri ngisi buku katanya kemampuan numerik-ku yang di atas rata-rata, padahal aku nggak merasa pinter angka. Trus lihat buku lain lagi kayaknya kelebihanku pada metakognisi. Lagi-lagi aku nggak tahu itu apa, yang jelas pada buku tersebut kayaknya nggak bisa berdiri sendiri, butuh keahlian tambahan dari bidang lain. Pernah juga aku tes online katanya kelebihan utamaku adalah generating idea. Sama, aku juga nggak tahu buat kerja apa. Maksudku, nggak bisa berdiri sendiri, butuh keahlian lain. Oleh karena itu, aku belajar bidang lain.


Aku udah mencoba bidang lain tapi nggak bisa-bisa. Kupikir salah satu kesalahannya adalah pada cara belajarku. Sebenarnya aku orang yang gigih, dalam arti misal kayak Edison, nyoba 1000 kali pun ya aku bisa-bisa aja sih, tapi itu kan butuh waktu dan biaya. Nggak cuma masalah persisten aja. Jadi, kudu strategik. Apa yang salah? 


Buku ini menarik karena dibuka dengan kisah Barbara yang mirip aku, dia dengan susah payah belajar bidang lain yang tadinya sulit baginya. Bedanya, dia sudah expert pada bidang barunya itu sekarang, sedangkan aku belum. 


Buku "Learning How to Learn" ini bukan hanya tentang cara belajar yang baik, tapi isinya juga didesain untuk menunjang hal tersebut. Mulai dari panjang pendeknya, margin-marginnya, gambar-gambarnya, pengingat-pengingatnya, kesimpulan dan pertanyaannya, dan lain-lain. Jadi, buku ini itu komprehensif dan isinya didesain dengan sangat baik. Meskipun, aku sendiri tidak sepenuhnya paham. Ketika aku berusaha read walking buku ini aku belum paham dan belum bisa menjawab sebagian pertanyaan atau tugasnya. Trus ada juga metode yang dikatakan metode metafora, aku bingung, apa benar yang dimaksud itu metafora dan bukan analogi. Selain itu, ada juga strategi belajar dengan membuat apa yang dipelajari menjadi gambar (memvisualkan), aku sulit mempraktekkan ini. Aku juga pernah mencoba akronim atau mnemonik (duwulu tapi) dan nggak berhasil. Aku cuma ingat singkatannya aja tapi materi aslinya nggak ingat. 


Kuakui Barbara maupun isi buku ini itu kreatif. Lalu apakah buku ini termasuk mudah, sedang, atau sulit dipahami aku agak bias jawabnya. Sedikit-sedikit sih aku paham tapi aku nggak tahu apakah karena buku ini atau karena aku sudah pernah baca buku serupa berkali-kali. Mungkin jadi semacam repetisi di otakku ya bisa aja. Untuk amannya, tingkat kemudahan untuk dipahami aku nilai sedang aja deh ya. Itu aku ya, bisa jadi kalau kamu beda. Mungkin kamu bisa lebih paham. Seperti Terrence ini, setelah belajar pada Barbara dan Alistair kemampuannya melesat. Dia cocok dengan metode mereka, yang katanya sama persis dengan yang diajarkan di buku ini. Siapa tahu kamu juga gitu. Jangan langsung berasumsi hasilnya akan sama denganku. Baca aja dulu bukunya, baru bisa menilai.



 



24 Februari 2022

Arti dari "Carilah Jodoh yang Baik Agama dan Akhlaknya"


Disclaimer/Warning: Artikel ini adalah pemahamanku versi ilmu umum, bukan ilmu agama.


"Carilah Jodoh yang Baik Agama dan Akhlaknya". 

Kalau kamu disodori pernyataan seperti itu, apa yang terpikir olehmu? Bingung, nggak? Itu masih terasa abstrak, bukan? Sementara kriteria jodoh yang boleh atau biasanya ditulis aja rata-rata cuma 5. Poin agama dan akhlak apa yang akan kamu tulis? Apa yang kamu pilih untuk kamu ambil cuma 5 itu? 


Nah, di sinilah terjadi pendegradasian kriteria. Agama yang dikatakan baik itu komprehensif, dia menjalankan agamanya semaksimal mungkin. Semakin mendekati 100% semakin baik. Nah, akhlak yang baik sebenarnya sudah termasuk ke dalam menjalankan agama yang baik. Kalau Islamnya baik, akhlaknya juga otomatis baik karena di dalam agama juga dijelaskan tentang akhlak. Bagiku pribadi, itu aslinya otomatis gandengan kalau agamanya baik. Kalau akhlaknya aja yang baik, belum tentu agamanya baik. Bisa jadi dia tidak beragama atau agamanya lain. Dalam konteks Islam, menikah itu harus sama-sama Islam. Agama lain tetapi baik tetap tidak baik untuk dinikahi. 


Kenapa baik agama dan akhlaknya sering dibedakan? Barangkali itu karena baik agama hanya dikaitkan dengan banyak sholat, banyak hafalan Quran, rajin puasa atau tahu teorinya doang tapi tidak mengamalkan, atau misal lulusan "institusi Islam" tertentu tetapi perbuatannya tidak baik. 


Mengapa kamu harus punya standar setinggi mungkin saat mencari jodoh?


Mungkin ini akan membuatmu terkejut, tetapi memiliki standar tinggi kupandang sebagai cara terbaik (setidaknya sampai saat ini) untuk menghindarkanmu dari calon-calon yang mental disorder/dangerous people, terutama psikopat.

Lama sekali aku berusaha mencari apa sebenarnya yang dicari dari seorang calon suami agar rumah tangga itu bisa langgeng, harmonis, dan bahagia. Aku mendalami buku psikologi, buku tentang abuse, buku tentang cinta-cintaan, dan apapun yang berhubungan dengan cinta-cintaan dan gender. Dari situ ternyata ada benang merahnya bahwa red flags-red flags yang ditulis di berbagai buku dengan berbagai versi masing-masing (atau disampaikan pada berbagai kesempatan oleh berbagai ahli) ternyata kalau dikerucutkan akan mengarah pada 5 kelompok dangerous people utama (mental disorder pokoknya). Dan dangerous people ini bisa kamu minimalisir dengan kamu bener-bener memperhatikan hal-hal yang dilarang dalam agama/negatif/buruk.

Mereka sangat berhubungan dengan misalnya zina/s*ks bebas, selingkuh, n*rkoba, m*ras, penipuan, pencurian, pelecehan, kebohongan, kecurangan, kelicikan, abuse/kekasaran/kekerasan, j*di, matre, kebut-kebutan, suka t*wuran, suka mencari sensasi, boros, hal-hal p*rno, lingkungan yang buruk, kemalasan, kehidupan yang parasit, korupsi, menyukai keduniawian banget, mengabaikan keselamatan, cuek/tidak perhatian/tidak bertanggungjawab, nggak empati, nggak punya hati nurani, nggak punya tujuan hidup yang jelas, gitu-gitu contohnya.


Kalau kamu pikir psikopat itu hanya tentang bunuh-membunuh yang sadis, nggak. Itu hanya parsialnya. Ada yang gitu tapi kebanyakan nggak. Kebanyakan orang biasa seperti kita dan banyak juga yang nggak berada di dalam penjara.

Dia lebih pada orang yang parasit, orang yang mainin orang lain, orang yang kasar, orang yang misal kamu pacaran sama dia kamu nggak dapat feel sebagai pasangan/feel disayang, orang yang ada maunya doang, orang yang pembohong dan penipu (aktor ulung), orang yang "hidupnya useless/banyak dosa/nggak normal/menyimpang" (fucek, j*di, m*ras, kl*pto, elgebete, dll), dll.


Nah, kesalahan dari banyak orang adalah cuek/masa bodoh dengan masa lalunya atau masa sekarangnya. Terlalu "ngayal" akan potensi.

Aku kasih contoh ya, misal kamu berhubungan dengan ps*kopat, ya dia tak punya cinta. Mo sampai kapan juga dia nggak ada rasa. Pura-pura doang.

Dan misal kamu berhubungan dengan narsis, ya ngimpi aja deh kamu. Narsis bisa berubah tapi dia nggak mau, bahkan dia nggak nyadar kalo ada yang salah pada dirinya. Malangnya lagi, walau dia mau berubah sekalipun itu suwusah dan hanya akan menghasilkan perubahan yang tiny banget. Mayoritas ahli berpendapat gini. Kalau kamu pengen hasil yang lebih baik ya kamu harus nyari ahli yang berpendapat beda dan yang terbukti mampu menyembuhkan narsis dengan cepat atau dengan perubahan yang besar/permanen.


Kamu sering kan denger:

1. Terima aja dia sekarang walaupun pengangguran, nanti setelah nikah akan terbuka rezekinya,

2. Terima aja dia apapun pekerjaannya, yang penting kerja, jangan kuatir rezeki, rezeki datang sendiri setelah nikah,

3. Jangan lihat masa lalunya, walau dia pernah j*di, selingkuh, KDRT, mengkonsumsi m*ras/n*rkoba, z*na, dll.

Dll.


Nah, perhatikan bahwa orang-orang tersebut bisa jadi memiliki mental disorder atau bahkan psikopat. Setelah nikah denganmu, kamu yang kerja, kamu yang ngurus semuanya, dia numpang di rumahmu, dia kamu biayain hidupnya ini itu termasuk modalin bisnisnya atau bayarin utang-utangnya, dll.

Lalu tentang poin ke-3, itu erat banget kaitannya dengan mental disorder. Mental disorder itu biasanya nggak 1, tapi gandengan atau combo. Dia bisa kambuh-kambuhan, bisa membahayakan dirimu (bisa membuatmu trauma lama, sakit, atau bahkan mati), orang dekatmu, aset-asetmu, menahan anakmu, dan apa aja dan dia kemungkinan tidak bisa sembuh sendiri/sembuh dengan cepat tanpa bantuan para ahli yang tepat (terapis, psikolog, psikiater, dsb - dan yang menyatakan sembuh itu para ahli ya, bukan dia sendiri). 


Kamu, iya kamu, bukan terapis.

Tugasmu nyari orang yang "sehat."

Tugasmu nyari partner yang kuat dan tangguh untuk bisa melipatgandakan kekuatan kalian dalam menjalani hidup, bukan yang membebanimu, bukan yang ngecil-ngecilin/mematikan kamu/potensimu, bukan yang minta banyak banget diskon/obral besar (atau gratis ongkir, hehehe) darimu. 

Kamu butuh orang yang bermoral, yang peduli kamu, yang bertumbuh (terus memperbaiki diri).

Gitu-gitu.

Itulah kenapa kamu harus punya standar yang sangat tinggi untuk jodohmu.


Jangan takut dibilang matre, ketinggian, sok suci, atau apa. 

Itu adalah "mainan"/alat mereka dan bisa jadi mereka adalah salah satu di antaranya (mental disorder tadi). 

Utamakan agamanya, tapi jangan lupakan aspek lain seperti yang kusampaikan di atas. 







22 Februari 2022

Review Buku "How to be Everything"

 How to be Everything: a guide for those who (still) don't know what they want to be when they grow up.

Penulis: Emilie Wapnick


Ada banyak sekali buku dan sumber informasi lain di dunia ini, tetapi ketika mayoritas dari mereka ternyata nggak kamu banget jatuhnya malah invalidasi, mencoba mendefinisikan kamu, mengatakan kalau kamu salah atau nggak bakal sukses kalau nggak begini-begitu, membuatmu bingung, atau menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Pada beberapa kasus, kamu mungkin akan dicap buruk, ADHD, atau lainnya hanya karena kamu beda dari orang lain. Kamu terlalu nggak dimengerti. 


Penulis, Emilie Wapnick, juga punya perasaan semacam itu ketika dirinya nggak bisa masuk ke teori manapun, lalu dia membuat teori sendiri dan mendefinisikan dirinya sendiri dan ingin membantu orang-orang seperti dia.


Ada banyak contoh bahwa orang itu seringkali ngomong tentang dirinya sendiri atau asumsinya saja, misalnya tentang niche Youtube, mayoritas orang mengatakan 1 niche aja biar sukses, tapi ada 1 orang itu malah bikin niche "gado-gado" dan sukses. Serupa dengan itu, beberapa tahun lalu aku percaya dengan prinsip keberlimpahan, kamu nggak harus selalu memilih A atau B, kadang kamu bisa dapat keduanya sekaligus. Contoh lain ya, waktu aku menetapkan 10 kriteria jodoh yang menurutku standar/biasa (nggak wah dan sebenarnya saringan awal aja), aku diserang dan dicaci maki buanyak sekali orang, tapi ternyata waktu itu 1 pria maju dan menyatakan dia punya kriteria itu. Poinnya adalah apa yang dianggap orang impossible aslinya cuma pikiran mereka sendiri atau mereka nggak memenuhi atau mereka belum mencoba atau hal-hal semacam itu. Dan misal 10 kriteria udah kamu anggap impossible, kamu mungkin akan lebih kaget lagi karena ternyata ada pria yang menetapkan 68 kriteria dan itu semua ada pada calon istrinya dan dia temukan calonnya itu dengan cepat plus akhirnya rumah tangga mereka bahagia dan harmonis. Ngowoh nggak tuh?


Serupa dengan itu adalah tentang buku "How to be Everything" ini. Di mana-mana kita disuruh memilih 1 saja agar bisa sukses. Kamu harus fokus, fokus, dan fokus katanya. Kalau kamu nggak fokus 1 bidang saja atau bosenan kamu dibilang nggak akan sukses. Selain itu, kamu juga seolah disuruh milih salah satu aja, kenyamanan kerja atau pemenuhan finansial dan nggak mungkin dapat keduanya. Ini semua dibantah oleh penulis di dalam buku ini. 

Nggak ada yang salah denganmu, kamu hanya berbeda. 


Di sini penulis akan memandumu dengan 3 bagian dalam bukunya:

1. Bagian pertama adalah mitos bahwa kamu hanya bisa memilih 1 bidang. Bagian ini disertai dengan istilah-istilah untuk orang yang punya banyak minat/bidang seperti itu.

2. Bagian ke dua adalah tentang 4 model kerja untuk multipotentialite seperti itu, dan

3. Bagian ke tiga adalah cara mengatasi kendala-kendala internal dan eksternalnya.


Buku ini juga dilengkapi dengan orang-orang yang berhasil bekerja pada lebih dari 1 minat/bidang serta berbagai contoh bidang interdisipliner yang mungkin cocok untuk orang-orang semacam itu.


Aku sudah sering sih tahu orang-orang dengan cara yang berbeda (baik tentang bahasan buku ini atau lainnya), tapi untuk buku semacam ini sendiri seingatku yang pertama kubaca adalah buku karya Barbara Sher, yaitu "Refuse to Choose." Buku tersebut juga sempat disenggol di dalam buku milik Emilie Wapnick ini.


Kalau aku menggambarkan buku "How to be Everything" ini sangat luar biasa. Feel-nya lebih dapet daripada "Refuse to Choose," meskipun aku sudah nggak ingat isi dari "Refuse to Choose" itu sendiri.


Buku "How to be Everything" ini itu sulit digambarkan dengan kata-kata. Bahasanya itu sangat empatik, hangat, ramah, dan bersahabat, mengandung penerimaan, validasi, motivasi, sekaligus solusi. Ada banyak buku yang (ngakunya) buku motivasi tapi nggak banyak yang bener-bener bisa menggerakkan orang secara otomatis. Buku ini adalah salah satu buku yang punya daya hidup dan daya gerak tersebut. Penulis itu seperti bener-bener care dan peduli kamu serta berusaha ngertiin kamu. Ini bener-bener sesuatu yang "deep" (mengandung closeness/intimacy), yang bahkan belum tentu kamu temukan pada buku-buku karya psikolog/psikiater/terapis/motivator atau semacamnya. Ini adalah perasaan empati yang bisa relate atau beresonansi dengan baik antara penulis dan pembaca. Buku ini sangaaaaat nyaman untuk dibaca dan sangat detail. Setelah lama kamu menjadi "alien" bagi dunia yang menganggapmu aneh, tulisan di dalam buku ini pasti akan menjadi harta karun yang sangat besar buatmu. Buagus banget pokoknya. Masya Allah.


Buku ini juga covernya menarik dan bagus dan menurutku cukup menyatu dengan jiwa kreatif dari penulis buku ini. Jadi, isi, gaya bahasa, dan covernya itu bagus.


Buat kamu yang merasa beda banget (merasa seperti alien) di dalam dunia yang sangat tidak ramah buatmu, coba deh baca buku ini. Very recommended.




18 Februari 2022

Review Buku "Mr. Right Now"

"Mr. Right Now: when dating is better than saying 'I do'"

Penulis: Rachel Safier


Membaca judul buku "Mr. Right Now" ini seketika membuatku berpikir bahwa penulisnya adalah orang yang kreatif. Judulnya kontras dengan buku-buku lain pada umumnya yang biasanya isinya tentang mencari Mr. Right, ciri-ciri Mr. Wrong, atau yang judulnya berbau merit-merit gitu deh. Jadi, dia itu ahli membolak-balikkan kata padahal intinya ya kurang lebih sama. Dalam kasus ini, isi buku ini ya dominan tentang ciri-ciri Mr. Wrong. Meskipun kukatakan kreatif, tetapi aku tidak tahu keefektifannya, apakah buku ini jadi lebih menarik dan marketable/laris atau tidak. 


Buku ini adalah buku yang bersahabat banget buat para cewek lajang. Dia ngajarin ngapain cepet-cepet nikah, nggak perlu buru-buru, ini lho ada 14 tipe cowok yang nggak baik (the wrong man) yang misal kamu udah terlanjur pacaran sama dia ya untunglah nggak sampe nikah. 


Begitulah, isi buku ini adalah tentang 14 tipe "the wrong man". Isinya sudah terlihat jelas pada daftar isi, alias daftar isinya bagus. 


Secara keseluruhan, buku ini cocok untuk dibuat latihan speed reading/speed reading beneran. Setidaknya ada 3 metode speed reading yang cocok untuk speed reading buku ini, yaitu skimming, scanning, dan preview reading, tapi yang paling cocok kayaknya ya scanning. Kita bisa punya gambaran isinya langsung dengan melihat daftar isi, bagian akhir tiap bab, dan bagian-bagian yang disorot/diberi penegasan oleh penulis. Apalagi, tiap tipe "The Wrong Man" tadi itu diuraikan ke dalam bab-bab yang terpisah, 1 tipe 1 bab. Kamu bisa langsung mencari tipe "The Wrong Man" yang kamu maksud tanpa perlu membaca tipe lainnya atau bahkan isi buku ini yang lain. Kadang kan ya kita sudah mencurigai calon kita itu kemungkinan masuk tipe yang mana, ya bisa langsung cari aja bab yang memuatnya. Hanya 2 bab yang mungkin perlu dibaca urut, kalau mau, selebihnya kamu bisa baca acak mulai dari bab yang paling menarik buatmu dulu.


Buku ini berisi daftar tipe cowok yang termasuk ke dalam red flags. Banyak tipe cowok yang nggak cocok jadi suamimu dan nggak usah kamu paksain untuk nikah sama mereka. Keempat belas tipe cowok tadi dijelaskan ciri-cirinya di sini, berikut contoh orang/kasusnya serta pro dan kontranya (kelebihan dan kekurangan cowok tipe tersebut). Selain itu, buku ini dilengkapi pula dengan pernyataan-pernyataan dari terapis yang berhubungan dengan masing-masing tipe tersebut dan kuis untuk mengecek calonmu termasuk ke dalam salah satunya atau tidak. Di sini, di satu sisi aku merasa terbantu dengan adanya contoh nyata dari tokoh dengan nama tertentu yang termuat di dalam buku ini tapi di sisi lain "Aduh, masa sebut nama sih. Kayak ngrasani jadinya." Yah, ada pertentangan seperti itu. Aku seneng tapi sekaligus merasa bersalah/berdosa misal sebut nama kayak gitu. 


Terlepas dari itu, buku ini akan sangat merangkulmu wahai wanita lajang. Di tengah gencarnya berbagai pihak/media yang ngompor-ngompori kamu biar buru-buru nikah, menekanmu, merendahkanmu, menginjak-injak atau mencap buruk kamu karena belum menikah, kemunculan buku ini itu bagaikan oase atau angin segar yang akan menghibur hatimu, mengembalikan logikamu agar tetap jalan (nggak terpengaruh emosi sesaat), sekaligus mengajakmu untuk maju dengan mengajarkan cara menyeleksi calon dengan lebih baik. 





16 Februari 2022

Review Buku "Start Right Where You Are"

"Start Right Where You Are," how little changes can make a big difference for overwhelmed procrastinators, frustrated overachievers, and recovering perfectionists.


Penulis: Sam Bennett


Sebelum aku me-review buku "Start Right Where You Are" di atas aku cerita dulu ya. Banyak buku bule yang judulnya itu ada keterangannya seperti itu. Bahkan, keterangan di buku ini termasuk puanzaaang. Aku curcol nih ya, aku itu kesel, banyak penerbit di Indonesia yang tidak meloloskan hal itu ketika aku membubuhkan keterangan untuk bukuku. Mereka mengurangi atau menghapusnya sama sekali atau bahkan mengubah foto-foto pada cover bukuku atau isi bukuku sendiri sehingga jadi nggak pas atau nggak pas banget sama isinya (dan ini sepihak, sehingga kalau aku menolak hampir bisa dipastikan akan batal/ga jadi terbit, mereka merasa lebih tahu tentang isi naskah bukuku dan bisa dibilang terlalu PD tentang marketing yang akan sukses versi mereka. Jadi nggak mau dengerin pihak lain/penulis). Beda sama buku-buku bule, seringkali memuat keterangan pada cover dan bagiku itu membantu banget. Contohnya pada buku ini, target pembacanya sudah tertulis jelas pada covernya. Ini agak beda sih, pada umumnya keterangan penjelasnya itu tentang isi, sementara yang di buku ini itu tentang target pembacanya/pembaca sasarannya.


Kalau kamu melihat cover buku ini, kupandang covernya menarik dan berhasil, walaupun agak unik. Tapi memang cocok sih sama penulisnya yang memang kupandang kreatif dan memiliki perspektif yang unik. Kayak nyatu gitu antara cover dan isi/jiwa penulis di buku itu. Menurutku, hal ini penting. Jadi, cover itu nggak semau gue-nya desainer cover. Harus memikirkan isi dan penulisnya juga gitu. Yah meskipun ada juga buku yang covernya menurutku nggak banget (baca: jelek) tapi ya laris, atau sebaliknya, cover bagus tapi nggak laris. Karena kalo ngomongin penerbitan, cover hanyalah salah satu aspeknya.


Kemudian tentang judul dan tulisan pada cover. Tema besarnya sih sebenarnya pasaran ya, tapi ternyata penulis bisa mengemas isinya dengan struktur yang beda banget. Ada beberapa isi yang klise sih, yah gitu-gitu aja seperti buku lain yang serupa (yang mungkin ini bagian esensialnya jadi diulang-ulang terus di berbagai buku), tetapi banyak juga bagian yang beda, dengan tambahan dari kreativitas dan perspektif unik dari penulis.


Sejak dari cover buku ini sudah beda dari buku kebanyakan. Begitupun daftar isinya, aneh gitu ada banyak kata "pause"-nya dan istilah yang digunakan untuk peralihan bab itu juga aneh. Mungkin saking kreatifnya dia sampai aku nggak paham. Tak ketinggalan pula acknowledgements-nya, kalau buku-buku lain ada di depan, ini ada di belakang. Aneh sih, tapi aku suka, nggak ngganggu pembaca. Pembaca bisa lebih cepat masuk ke isi, meskipun mau di depan atau belakang biasanya tetep ku-skip alias nggak kubaca.


Tentang layout dan isinya, buku "Start Right Where You Are" ini enak dibaca. Margin-marginnya itu pas, panjang tulisan umumnya pas (walaupun ada juga yang panjang banget), ada kalimat yang disorot dengan dimasukkan kotak, dan ada langkah aksi untuk perubahan kecil pada tiap babnya.


Cuma, kesan pertamaku saat baca judul atau keterangan pada covernya, kupikir isinya bakal kayak "One Thing," kamu disuruh membuat 1 perubahan kecil aja gitu. Tapi ternyata dia itu isinya semacam kumpulan masalah sehari-hari. Perubahannya kecil sih tapi nggak cuma 1, tetapi satu di bagian ini dan satu di bagian itu dan satunya lagi di bagian yang lain lagi. Alias banyak perubahannya. Mungkin tergantung sebanyak apa masalahmu, sebanyak itu pula perubahan yang harus kamu lakukan.


Yang paling menonjol dari buku ini adalah buku ini praktis untuk langsung diterapkan dan perspektif penulisnya itu unik. Kalau mau tahu lebih jauh seunik apa, baca langsung aja ya bukunya.





12 Februari 2022

Arti Ilmu yang Bermanfaat

Kamu sering berdoa minta ilmu yang bermanfaat? Sudah tahu belum artinya?


Disclaimer: ini adalah pemahamanku versi ilmu umum dan sebagai orang umum yang merupakan pembelajar.


Aku lagi asyik tiduran, setelah beberapa hari terakhir ini aku membaca buku tentang Naval Ravikant, buku tentang belajar apapun dalam waktu 20 jam, dan belajar serta praktek tentang cara membaca cepat. Tiba-tiba terlintas pemahaman ini.


Kalau bicara tentang ilmu yang bermanfaat, itu masih berhubungan erat dengan manajemen waktu/prioritas/efektivitas dan efisiensi, generasi unggul, dan mengapa orang berilmu dikatakan akan dinaikkan oleh Allah beberapa derajat, serta mengapa orang berilmu dikatakan sebagai orang yang paling takut (berbuat dosa/keburukan). 


Aku pernah bahas pada artikel blogku yang terdahulu (di blog ini juga), tentang 5 hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram) yang ternyata berhubungan dengan produktivitas. Kalau kamu ingin menjadi orang yang sangat sukses, utamakan yang wajib dan sunnah. Isi mayoritas waktumu dengan kedua hal ini. Sesekali yang mubah juga nggak papa lah ya. 


Nah, sekarang terkait dengan sumber daya. Kita tahu bahwa sumber daya kita itu terbatas, dan orang-orang sukses kebanyakan tahu kalau yang paling berharga itu bukan uang, tetapi waktu. Mereka yang paham ini, menilai dengan waktu dan bukan uang.


Berawal dari membaca sosok Naval Ravikant yang begitu selektif akan segalanya. Trus aku merenung juga, iya juga, begitu banyak ilmu dari sekolah maupun lainnya yang susah-susah kupelajari ternyata nggak berguna dan banyak juga yang lupa. Di sisi lain, ternyata ada orang yang mengatakan kita bisa belajar apapun dalam waktu 20 jam saja, lalu dia mengajarkan tekniknya. Bandingkan sekolah bertahun-tahun dan nggak bisa-bisa vs bisa mahir apapun dalam waktu sekitar 2 minggu saja. Dua minggu ini kita sudah ahli untuk bidang yang kita pilih tersebut dan hanya pada bagian yang kita butuhkan. Kamu nggak perlu sangat ahli untuk segalanya. Just learning with purpose. 


Nah, ketika aku belajar tentang membaca cepat, aku yang sering-seringnya membaca urut dari awal sampai akhir, ternyata kemudian menemukan teknik skimming, scanning, dan lain-lain (nyari bagian yang penting/yang dibutuhkan aja). Selain itu, buku lain juga mengajarkan membaca sesuai prioritas: urut dari yang terpenting dulu, lalu yang moderat, baru yang kurang penting. Lagi-lagi tentang reading with purpose atau smart reading.


Itu arti ilmu yang bermanfaat juga, tidak sebatas mengamalkan atau mengajarkan, tetapi selektif terhadap ilmu itu sendiri. 


Semua hal juga harus kita perlakukan begitu, harus sangat selektif seperti yang dicontohkan oleh Naval Ravikant: selektif terhadap orang-orang, pekerjaan, pindah kota apa nggak, dan segalanya, dan itu semua membutuhkan juga kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat. Untuk membuat keputusan yang tepat (yang baik dan benar), kita butuh clarity/kejernihan dalam berpikir. Kalau tentang m*ras dan n*rkoba udah nggak usah diomong lagi ya pasti merusak kejernihan pikiran. Tapi ada juga makanan yang tidak thoyyib atau perilaku makan tertentu (yang buruk) yang juga dapat mengganggu kejernihanmu dalam berpikir. Di luar itu semua, muter lagi ke bagian awal, untuk meraih kejernihan berpikir itu juga butuh ilmu. Maka kita kembali ke bahasan ilmu yang bermanfaat tadi. Ilmu itu buanyak banget. Jadilah super selektif dengan hanya memilih yang bermanfaat. Gitu ya.


Semoga bermanfaat dan bisa dipahami.


Review Buku "Love & Respect"

"Love & Respect," the love she most desires, the respect desperately needs. 

Penulis: Dr. Emerson Eggerichs


Pertama baca buku "Love & Respect" itu aslinya aku mau skimming dulu karena bagiku judulnya nggak menarik. Aku nggak tau penulis mau ngomong apa. Ya memang sih masalah perbedaan kebutuhan pria/suami dan wanita/istri itu beberapa kali disinggung oleh ahli lain, tapi kan aku nggak tahu buku setebal ini isinya itu apa aja.


Aku pribadi sebenarnya merasa aneh dan nggak setuju dengan orang yang mengkotak-kotakkan antara kebutuhan pria adalah ini dan kebutuhan wanita adalah itu. Bagiku, yang ada adalah kebutuhan dasar manusia. Di mana-mana beberapa ahli mengatakan kebutuhan utama pria adalah rasa hormat sedangkan kebutuhan wanita adalah cinta/dihargai. Coba kamu nggak menghormati wanita atau nggak mencintai pria, apa ya tetep akan fine-fine aja hubungannya? Aku pribadi lebih menganggap itu adalah label-label dan label-label seperti ini nggak perlu/sebaiknya dihilangkan dan mari kita fokus pada kebutuhan dasar manusia.


Aku mau kasih contoh praktis ya. Aku masih cewek nih ya, yang menurut sebagian ahli hanya butuh dihargai. Suatu hari ada bapak-bapak asing yang nyariin jodoh buat anaknya. Dia kontak aku pagi-pagi banget. Buatku itu adalah nggak punya manner, nggak punya sopan santun. Sedekat apa kamu sama aku sampai kamu merasa punya jalur khusus untuk hubungi aku di waktu yang nggak normal untuk orang yang baru pertama kali kontak. Di situ aku merasa dia tidak menghormati aku. Nggak selesai sampai di situ, isinya pun maksa-maksa minta cepet dibalas. Pertama, aku itu gak suka orang asing kontak di jam-jam gak normal; ke dua, siape elu, ngatur-ngatur gue. Gue benci banget orang diktator/controlling/otoriter; ke tiga, aku ga suka berhubungan dengan ortunya, aku butuh berhubungan dengan calonku langsung; ke empat, aku itu masih sibuk; ke lima, aku makin ga suka ketika kucuekin dia langsung marah-marah gak jelas. Di situ aku merasa dia disrespect aku. Ganteng sih anaknya sebenarnya, tapi ortunya toksik banget kayak gitu aku mah ogah. Aku males ribut, gak kesuwen tak blokir langsung. Draining otomatis. Merusak pagiku aja.


Tapi aku nggak tahu pasti definisi menghormati dan menghargai versi cowok itu apa. Sama atau beda denganku.


Kembali ke buku "Love & Respect," buku ini unik. Entah ini memang murni tulisan dan ide dia atau ada ikut campur cewek di dalamnya, misal istrinya atau mungkin editornya cewek atau proofreader-nya cewek atau gimana. Ini biasanya gaya bahasa cewek dan cara cewek bersikap. Atau mungkin kamu pernah dengar tentang cowok T+ (alpha male), Tx, dan T-, mungkin penulis termasuk Tx atau T- jadi lumayan memahami cewek. Jadi, sebagai ahli relationship, sepertinya dia berhasil. 


Biasanya nih ya, cowok itu kalau ngomong tentang cewek dan cowok, dia masih unfair atau bolo cowok banget. Tapi di buku ini, baik komposisi, cara bicara, cara melihat kesalahan cewek maupun cowok, atau lainnya dia berusaha netral. Aku respek dan salut soal ini. Lumayan lah ya ada usaha untuk adil dan memahami.


Secara isi, ini banyak kisahnya, termasuk pengalaman pribadi penulis. Dia memberikan berbagai contoh real dari miskomunikasi, yang menurut versi penulis, terjadi karena perbedaan gender (bukan perbedaan misal pengasuhan, gaya hidup, atau lainnya).


Di antara berbagai banyak buku/video/apapun (terutama yang ditulis cowok) yang biasanya cuma nyalah-nyalahin cewek atau nyuruh cewek berubah, sedangkan buku/ajaran relationship untuk cowok yang biasanya hanya seputar s*langkangan, buku ini termasuk bagus lho. Apalagi, penulisnya cowok ya, dia beberapa langkah di depan cowok-cowok yang lain. Patut diapresiasi.


Tapi, ini ternyata buku Kr*sten ya, ada beberapa ayat Kr*stennya. Aku sih kalo baca ku-skip aja ayatnya.


Memang lebih pas buat orang Kr*sten sih, tapi yang non Kr*sten juga bisa dengan men-skip ayat-ayatnya kayak aku. Ayatnya nggak dominan kok, beberapa aja. 


Terakhir, meskipun menurutku buku "Love & Respect" ini lumayan bagus, tapi isinya juga mengandung potensi bahaya, yaitu ketika penulis menganggap abuse itu terjadi karena perbedaan gender (miskomunikasi, tidak memahami, atau semacamnya). 

Ini fatal banget.



11 Februari 2022

Review Buku "Speed Reading"

"Speed Reading," quadruple your reading speed in an afternoon. 

Penulis: Bill McDowell


Kecepatan bacaku itu masih sangat lambat. Jadi, aku ingin meningkatkan kecepatan bacaku dengan membaca "Speed Reading" ini. Selain alasan ini, sebelumnya aku juga membaca 2 buku lain yang langsung kupraktekkan sebagian, yaitu buku tentang Naval Ravikant dan buku tentang menguasai apapun dalam 20 jam. 


Pertama milih "Speed Reading" dari Bill McDowell ini karena jumlah halamannya sedikit dan layout serta font-nya enak. Eh, ternyata dibacanya juga enak, easy reading, walaupun masih agak bertele-tele. Jadi, buku ini itu nggak cuma mengajarkan tentang membaca cepat, tapi desainnya sendiri (font, margin, layout, dll) itu bikin dia enak buat latihan speed reading sekaligus.


Kalau metodenya sendiri sih, sepertinya cuma dasar/nggak terlalu mendalam, tapi nggak tau juga sih apakah hanya dengan metode dan penjelasan seperti itu bisa meningkatkan kecepatan baca secara drastis.


Buku ini diawali dengan mitos-mitos tentang membaca cepat, kesalahan-kesalahan baca kita yang berasal dari cara orang mengajar kita membaca saat kita masih kecil, cara mengatasinya/cara membaca cepat itu sendiri, lalu ditutup dengan ringkasan dari keseluruhan bab dan motivasi-motivasi.


Selain karena kesalahan baca dari warisan masa kecil, penulis sepertiku punya tantangan tersendiri tentang membaca cepat ini, yaitu mematikan vokalisasi/suara di dalam kepala ataupun membaca dengan disuarakan keras-keras. Bahkan, aku sendiri malah pernah melatih membaca dengan keras/disuarakan sebagai salah satu teknik menulis, yaitu untuk merasakan nada, rima, kesatuan, koherensi, dan hal-hal semacam itu lah ya. Begitu juga untuk hafalan, karena lingkunganku berisik, aku yang aslinya awalnya hafalan dalam hati akhirnya harus menyuarakan. Sekarang tiba-tiba itu harus "blup" (padam). Susah banget ya.


Aku udah beberapa hari ini latihan membaca cepat dan sukses membuat kepalaku sakit banget. 


Nah, saat membaca buku "Speed Reading" ini aku tiba-tiba ingat buku "Jerome Becomes Genius" dan buku lain tentang belajar cepat, tapi yang kuingat isinya buku Jerome, yaitu pada bagian memori (kemampuan mengingat). Ternyata, ada persamaan antara belajar membaca cepat dan belajar mengingat (meningkatkan daya ingat). Keduanya butuh dipaksa. Kamu nggak akan tahu kemampuan maksimalmu kalau kamu nggak melatih dan memaksanya. Jangan meremehkan kemampuan otak atau inderamu yang lain (dalam hal ini mata). 


Ngomong-ngomong tentang memori, ada juga lho game-game yang memang didesain untuk meningkatkan memori/ingatan kamu, misalnya game memori google. Lumayan kan buat membantu melatih daya ingat.


Overall, buat pemula, buku ini enak kok buat belajar membaca cepat. Baca aja!





10 Februari 2022

Review Buku "Decisive"

"Decisive," How to Make Better Choices in Life and Work.

Penulis: Chip Heath & Dan Heath, the best selling authors of "Switch" and "Made to Stick."


"Decisive" merupakan buku tentang cara membuat keputusan. Membuat keputusan itu masih berhubungan erat dengan berpikir kreatif, terutama pada tahap awalnya.


Aku tertarik membaca buku ini karena pernah membaca buku Dan Heath dan Chip Heath sebelumnya, yang termasuk best seller. Judulnya "Switch."


Sama seperti "Switch", "Decisive" ini juga bagus, tetapi berat. Bahasa dan isinya sama beratnya. Sebelum baca "Decisive" ini aku sempat baca buku Chip Heath yang lain (tapi lupa judulnya) ya sama, memang berat. Di situ Chip Heath memang tampak sangat cerdas tapi tetap bukunya itu berat untuk orang awam. Tapi semuanya bagus dan bermanfaat, mungkin bacanya harus pelan-pelan banget biar bisa memahaminya, meskipun tetap sulit. Dan semua buku di atas memuat contoh-contoh kasus yang banyak.


Isi buku "Decisive" ini adalah tentang cara membuat keputusan, kesalahan-kesalahan umum dalam membuat keputusan, cara mengatasinya, dan contoh-contoh kasusnya.


Jadi, menurutku, karakter buku-buku Chip Heath dan Dan Heath itu bagus banget, beda/nggak pasaran/isinya unik, banyak contoh kasusnya, tapi berat. Bahasa dan bahasannya berat. Tidak easy reading.


Untuk buku "Decisive" ini untungnya ada ringkasan pada tiap akhir babnya, meskipun kalau kamu baca langsung ringkasannya doang, kamu bakal nggak dapet isi utuhnya, alias kamu akan tetap bingung pada sebagian isinya. Lebih cocok kalau kusebut pengingat (reminder) daripada ringkasan. Dia akan mengingatkanmu pada isi 1 bab tersebut. Membuatnya mudah untuk dipanggil kembali.


Pada akhir buku ini ada rekomendasi referensi dari kedua penulis tadi, dalam bentuk buku, podcast, dan website, sekaligus ada buku kerja (workbook) dan panduan lebih lanjut bagaimana cara mengaplikasikan teknik-teknik membuat keputusan seperti yang diajarkan buku ini. Ada contoh kasus dan penerapan metode step by step juga di akhir buku ini. 

Kata penulis, buku-buku yang direkomendasikan dia itu mudah dipahami. Tapi aku nggak yakin. Karena penulis sendiri itu bahasanya berat, mungkin seleranya juga sama. Selain itu, aku pernah baca salah satu buku yang direkomendasikan itu isinya juga berat. 


Menurutku, buku-buku Chip Heath dan Dan Heath itu cocok untuk orang yang intelektualitasnya tinggi dan bacanya mungkin harus pelan-pelan banget biar paham. Tapi kalo kamu udah paham isinya akan jadi worth it banget buatmu.





08 Februari 2022

Pendidikan Umum VS Pendidikan Pesantren

Sudah lama aku nggak habis pikir tentang apa yang terjadi dengan pendidikan di Indonesia (di Indonesia aja ya biar spesifik). Memang banyak orang menyoroti, tapi kebanyakan sepertinya nggak menghasilkan (atau nggak terlalu menghasilkan atau mungkin kurang tepat hasilnya) solusi, tetapi malah memicu/membesarkan konflik-konflik atau malah bikin excuse-excuse. Memang mencari inti masalah yang tepat itu nggak sederhana, apalagi mencari solusinya.


Berita-berita dan konflik-konflik yang santer terdengar malah bikin kuping dan hati panas. Sudah nggak ngasih solusi malah tukaran atau sibuk menang-menangan: sekolah negeri atau swasta yang lebih baik, sekolah umum atau agama yang lebih baik, sekolah di gedung atau di rumah (homeschooling) yang lebih baik, pekerja atau pengusaha yang lebih baik, dan masih banyak lagi. Alhasil, sebagian orang jadi bingung or makin bingung kehilangan arah. Ke A atau ke B ya? Males ah sekolah, nggak guna. Jadi pengusaha aja ah, jadi pekerja gini gitu. Dan lain-lain yang cenderung geje, sawang-sinawang, iri dengki, serta nggak positif dan nggak produktif. 


Nah, berawal dari membaca buku "The Almanack of Naval Ravikant" ini aku mau menuliskan sebagian pemikiranku. Sebenarnya sebagian sudah sering dibahas sih di buku lain, tapi buku Naval ini pencetusnya. Semacam moment "aha"-nya.


Naval memang menyinggung tentang nggak cocoknya dunia pendidikan formal bagi bisnis. Tapi apa yang mau kusampaikan di sini lebih merupakan pemikiranku sendiri, tetapi masih berhubungan. Ini adalah tentang pesantren. Aku bukan santri ataupun alumni pesantren, jadi ini lebih ke bayangan/pemikiranku aja ya. Benar atau tidaknya aku tidak tahu.


Aku itu membayangkan betapa susah pendidikan di pesantren. Taruhlah contoh menghafal Al Quran saja, itu sudah suwusah banget, belum tentang pelajaran-pelajaran lainnya. Masalah muncul ketika santri itu belajar dobel (agama dan sekolah umum sekaligus), apa nggak makin susah? Ada juga pesantren yang melabel dirinya "modern". Berarti ada pesantren yang kuno dong? Modern-nya di mana? Apakah untuk komersialisasi/strategi marketing saja? Itu jadi semacam pengkotak-kotakan ke dalam "Islam kuno" dan "Islam tidak kuno", karena kehidupan di pesantren itu dianggap miniatur/perwujudan dari Islam.


Orang sering bertanya, kenapa Islam/orang Islam sekarang tidak jaya? Kenapa pentolan-pentolan orang tersukses itu banyak yang bukan Islam?

Itu sebenarnya gini, mari kita bedakan dulu jenis-jenis orang Islamnya, di antaranya:

1. Muslim yang belajar tapi tidak paham. Udah berhenti gitu aja. Nggak diapa-apain. Cuek. Nggak ngamalin dong,

2. Muslim yang belajar dan mengamalkan tapi pemahamannya salah. Amalan jadi salah.

3. Muslim yang belajar dan paham dan ingin mengamalkan tetapi dia lemah/penakut. Dia jadi nggak bisa all out mengamalkan atau malah melenceng/mengamalkan yang berbeda,

4. Muslim yang tidak belajar,

5. Secara agama Islam, tetapi dia munafik.

6. Muslim yang belajar dan paham dan kuat/pemberani dan mengamalkan apa yang dipahaminya.


Nah, setidaknya dari 6 kelompok besar tersebut, 5 di antaranya itu error/bermasalah. 


Aku sudah membaca berbagai buku, baik versi buku agama/religi/Islam maupun versi buku umum, banyak prinsip-prinsip kesuksesan itu sudah ada di dalam agama. Contoh buku yang kubaca itu tentang kesehatan, hubungan/relationship, dan bisnis. Berbagai ahli itu muter-muter nge-riset ini-itu tapi ternyata conclusion-nya sudah ada di agama; di Qur'an-mu, di haditsmu, dll. Itu lucu lucu miris ya. Orang susah-susah nyari ternyata sudah ada di agamanya. Cuma kadang-kadang entah karena memahami sumber-sumber agama itu yang susah atau karena manusianya yang ngeyelan (suka membantah) atau karena sebab-sebab lain, itu semua jadi kurang terintegrasikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusianya suka pilih-pilih dan tidak mengamalkan ajaran Islam secara kaaffah/menyeluruh/komprehensif. 


Di situlah muncul pertanyaanku. Kamu percaya nggak sih Islam itu agama terbaik dan sudah mengatur seluruh aspek kehidupanmu? Kalau kamu percaya, trus ngapain pesantren kok ditambah pendidikan formal juga seperti sekolah umum. Itu agak useless, kecuali kamu ngejar sertifikatnya, atau mau masuk PNS, atau mau masuk ke tempat-tempat kerja yang butuh sertifikat. Sebagaimana dunia pendidikan umum kita yang gagal/kurang tepat sasaran, pesantren juga ikut gagal juga dengan alasan serupa. Menurut hematku, karena kehidupan di pesantren itu lebih seperti miniatur kehidupan Islam, dia lebih mungkin untuk memantau dan menerapkan ajarannya pada santri-santrinya langsung. Apalagi, biasanya pake nginep. Nggak perlu dibedakan antara pendidikan agama dan umum, langsung diintegrasikan saja. Misal tentang pelajaran ekonomi. Ya sudah cari aja ajaran Islam tentang ekonomi trus langsung dipraktekkan. Baru nanti yang kurang-kurang diajarkan dalam bentuk pelajaran umum. Nggak semua pelajaran (termasuk pelajaran umum) perlu dipelajari. Berat lho belajar agama yang se-bejibun itu, apalagi ditambah pelajaran umum yang sama bejibunnya.

Fokus pada pelajaran kehidupan, bukan pelajaran per bidang studi. Andaipun nggak kerja kantoran atau nggak jadi PNS para lulusan santri tadi tetap bisa sukses, misalnya dengan menjadi pengusaha.







03 Februari 2022

Review Buku "The Almanack of Naval Ravikant"

"The Almanack of Naval Ravikant," a guide to wealth and happiness.

Penulis: Eric Jorgenson


Wow, sangat mengagumkan! Masya Allah. Buku "The Almanack of Naval Ravikant" ini adalah definisi dari sosok yang "bagus" ditulis oleh penulis yang "bagus." Membuatku ingin mengenal lebih dalam siapa Naval Ravikant ini sekaligus kepo ingin baca buku-buku Eric Jorgenson yang lain, yang mungkin akan sama bagusnya.


Aku sebenarnya nggak kenal atau nggak tahu Naval Ravikant itu siapa. Aku pun nggak tahu almanack itu apa? Judulnya itu asing dan nggak menarik gitu lho, baik dari kata "almanack" yang aku nggak tahu maksudnya apa, sampai dengan Naval Ravikant sendiri yang aku nggak tahu siapa. Apalagi penulisnya, boro-boro aku tahu namanya, denger atau baca juga nggak pernah kayaknya. Aku pertama tahu buku ini itu ya dari medsos, yaitu Instagram. Di sana, pemilik akun IG-nya itu me-review sambil meng-capture/men-screenshoot bagian-bagian dari buku ini. Buku "The Almanack of Naval Ravikant" ini masuk di antara buku-buku "the best" versi dia.


Aku tuh sebenernya awalnya malah pengen baca almanaknya Charlie Munger, orang dekatnya Warren Buffet. Judul bukunya itu kalo nggak salah "Poor Charlie's Almanack." Buku itu udah ada di dalam daftar rencana bacaku, tapi karena jumlah halamannya terlalu mengintimidasi, akhirnya aku mbleot alias melenceng ke almanaknya Naval Ravikant ini, yang jumlah halamannya cuma sekitar setengahnya. Maklum lah aku masih nyubi soal kecepatan membaca. Set set, uda deh akhirnya aku buka-buka buku tentang Naval Ravikant ini dan... OMG aku jatuh cinta dengan isinya. Daging banget, inspiratif banget, sangat mencerahkan, amazing. Nih 2 orang, penulis dan yang ditulis itu sama-sama kerennya pokoknya. Ini itu seperti rangkuman hal-hal penting dari kehidupan. Si Naval itu belajar tentang hal-hal ini sepanjang hidupnya, lalu kita tinggal baca aja dari karya Si Eric ini. Dan asal kamu tahu, Naval ini sangat self awareness dan terus mengevaluasi segala sesuatu dan step by step apa saja dalam hidupnya. Kok bisa gitu lho aku nggak ngerti sama sekali orang sekeren dan sehebat dia. Kenapa dia nggak terdeteksi oleh radarku atau nggak pernah kutemui di berita-berita atau medsos-medsos yang dekat denganku/di sekitarku? Wow banget gitu pokoknya. Mungkin setelah baca buku "The Almanack of Naval Ravikant" ini aku akan jadi fans baru Naval. Cara berpikirnya itu jernih, dia sangat memperhatikan berbagai hal, tahu apa yang inti lalu memfokuskan hidupnya ke sana, dan yang lebih amazing lagi, sepertinya dia sosok orang sukses yang seimbang hidupnya, makmur sekaligus bahagia. Ini semua adalah kualitas-kualitas kunci yang bikin aku ngefans padanya. Dan siapa lagi yang bikin aku seperti itu kalau bukan berkat keahlian dari Eric Jorgenson, penulisnya. Dari nggak kenal aku jadi mendadak jatuh cinta dan ngefans banget pada sosoknya.


Aku nggak terlalu tahu pengertian biografi, memoir, atau semacamnya, tapi kayaknya meskipun Eric menulis tentang Naval Ravikant, ini bukan termasuk keduanya. Ini bukan buku tentang perjalanan hidup Si Naval, tapi ini itu tentang pelajaran hidup yang diambil dari Si Naval dan hal-hal keren tentang dia. 


Pas baca buku ini itu aku rasanya pengen langsung ngabisin aja gitu, pengen baca langsung sampai akhir, karena isinya itu penting semua dan daging semua, kecuali mungkin bagian-bagian halaman depan (tentang penerbit), kata pengantar, ucapan terima kasih, dan semacamnya yang biasanya memang aku lewatkan.


Aku uda baca buku macem-macem dan emang buku "The Almanack of Naval Ravikant" itu gila banget isinya. Isinya lumayan mudah dipahami walaupun aku nggak sepenuhnya paham dan bahasanya lumayan sederhana untuk awam. Biasanya orang penting itu kan bahasanya susah banget atau teknis banget tapi Naval ini nggak. Entah itu Navalnya yang gitu atau penulisnya yang lihai dalam menyederhanakan aku kurang tahu. Kalau baca buku ini itu akan menghemat banget waktumu karena nggak perlu terlalu banyak baca buku lain atau susah-susah nyari sendiri ilmunya atau bahkan susah-susah mikir atau ngalami sendiri. Ini sudah disarikan oleh dia. Bener-bener daging semua, puenting semua dan padat berisi. 


Untuk ilmu sedaging ini kamu hanya butuh 1 buku, nggak perlu ikut seminar atau training-training mahal, nggak perlu bertahun-tahun nyari sendiri. Suimpel. Kueren. Aku nggak ngecap ya kamu bisa cari dan baca sendiri bukunya buat buktiin.


Aku dapat banyak pencerahan dari buku "The Almanack of Naval Ravikant" ini dan berniat untuk mempergunakannya untuk memperbaiki hidupku. Sebagus itu. Masya Allah, nggak rugi aku bacanya. Dari daftar isi sampai akhir itu bagus semua.

01 Februari 2022

Review Buku "Living with the Passive Aggressive Man"

 "Living with the Passive Aggressive Man," coping with the personality syndrome of hidden aggression- from the bedroom to the boardroom.

Penulis: Scott Wetzler, Ph.D.


Pasif dan agresif. Kok aneh? Agresif kan biasanya aktif, kok bisa ini agresif tapi pasif? Jawaban dari hal ini digunakan sebagai pembuka dalam buku "Living with the Passive Aggressive Man" ini.


Buku ini mengambil angle yang unik menurutku. Pada saat penulis lain berbondong-bondong membuat judul seputar narsis, toxic, atau abuse, Scott Wetzler, penulis buku ini malah mengambil judul tentang pria yang pasif agresif. Sebenarnya sih ya pasif agresif itu masih berhubungan dengan gaslighting (yang banyak dimuat di buku-buku tentang narsis atau abuse dan semacamnya), tetapi ketika pasif agresif dimunculkan tersendiri sebagai judul sekaligus tema utamanya, ini menjadi daya tarik tersendiri.


I guess penulis buku ini itu dominan otak kiri karena susunan buku "Living with the Passive Aggressive Man" ini seperti template banget, terutama buat kamu yang biasa nulis buku dengan kerangka dulu. Jadi kuistilahkan template karena umum dijumpai pada penulisan standar, karya ilmiah, atau orang-orang yang dominan otak kiri. Isinya seputar pengertiannya apa, latar belakang/penyebabnya apa, gejalanya/cirinya apa, efeknya apa, (apa peranmu di dalamnya, wanita seperti apa yang biasa tertarik pada pria pasif agresif), dan gimana cara mengatasinya. Semua ini penting dan bagiku merupakan standar dari penulisan tema tertentu. Aku sendiri juga biasanya gini nulisnya. 


Ngomong-ngomong soal isinya, isinya jelas kok. Bahasanya netral/tengah-tengah, cukup blak-blakan tapi nggak nyakitin. Lumayan buat menyadarkan pihak-pihak yang bersangkutan (yang kecokot di dalamnya). Ada contoh-contoh kasusnya juga. Ini membantu banget buat kamu yang pengen tahu lebih dalam atau bahkan sedang bermasalah dengan pria yang pasif agresif.


Oya, jangan salah, pasif agresif ini sudah bisa dimulai sejak kecil. Biasanya ortunya salah mendeteksi, sehingga penyebab anak dibawa ke terapis itu misalnya karena berprestasi rendah, gangguan makan, dll, padahal itu pasif agresif. Guru-guru juga harus paham, misalnya anak-anak yang suka nggak ngerjain PR, suka rese saat pelajaran, sering ke kamar kecil, dan semacamnya itu adalah bagian dari pasif agresif. Dengan baca buku "Living with the Passive Aggressive Man" ini kamu itu bisa lebih paham gitu lho seperti apa pasif agresif itu pada anak kecil hingga orang dewasa. Menarik pokoknya.

Udah gak usah kelamaan. Cuz cepetan baca sendiri aja bukunya.