Kasus Covid yang tak kunjung tuntas
membuat kita perlu menyoroti kembali mengenai masalah gaya hidup. Sebab,
sulitnya penanganan kasus Covid di Indonesia terutama disebabkan karena tingkat
penularan Covid yang tinggi, terlambatnya pasien dibawa ke rumah sakit, dan
adanya komorbid (penyakit penyerta) serta orang-orang yang rentan/dalam kondisi
lemah (misalnya lansia dan ibu hamil), bukan karena virus Corona baru
(SarCov-2) itu sendiri.
Memang ada kasus penderita yang murni meninggal
karena Covid-19, tetapi itu sangat minim. Seperti data kumulatif Dinkes
Surabaya misalnya, per tanggal 28 Juli 2020, sekitar 90 persen kasus penderita Covid-19
yang meninggal adalah karena komorbid.
Dilansir dari Suarajatim.id, 18 April
2020, Ketua Gugus Tugas Kuratif Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, dr Joni
Wahyuhadi, menjelaskan, dari 48 pasien meninggal di Jawa Timur, hanya 2 yang
kematiannya murni karena Covid-19. Begitupun di Italia, Juru Bicara Pemerintah
untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto memaparkan data di Italia menunjukkan
99 persen pasien Covid-19 yang meninggal dunia memiliki penyakit lain. Lebih
dari 75 persen memiliki hipertensi, 35 persen memiliki diabetes, dan 33 persen
memiliki penyakit jantung (cnbcindonesia.com, 15 April 2020).
Penderita Covid dengan komorbid sendiri
sulit untuk dipastikan kematiannya karena Covidnya atau komorbidnya, karena
mustahil melakukan otopsi atasnya. Otopsi hanya dapat dilakukan jika seseorang
meninggal secara tidak wajar.
Namun, saya hampir-hampir yakin bahwa
itu memang karena komorbidnya dan kondisi fisiknya yang lemah. Salah satu
buktinya adalah seperti termuat dalam berita detik.com, 31 Agustus 2020, dari 99
dokter yang meninggal terpapar virus Corona di Indonesia, 27 di antaranya dari
Jawa Timur, dan yang terbanyak dari Surabaya. Ketua IDI Jatim, dr Sutrisno SpOG,
sendiri yang menjelaskan bahwa mayoritas dokter yang meninggal tadi adalah
karena komorbid atau faktor usia. Bahkan, dari 27 dokter di Jatim yang
meninggal karena terinfeksi Covid-19 kebanyakan tidak menangani pasien Corona
secara langsung, melainkan pasien biasa/bukan pasien Covid-19.
Penyakit Akibat Gaya Hidup di Indonesia
Hingga kini, Indonesia masih memiliki triple
burden of malnutrition (tiga beban malnutrisi), yaitu gizi berlebih
(obesitas), gizi kurang (stunting, kurus, berat badan kurang, atau gizi buruk),
dan defisiensi gizi mikro (kekurangan asupan, penyerapan atau penggunaan satu
atau lebih vitamin dan mineral). Sialnya lagi, orang bisa kelebihan berat badan
sekaligus kurang gizi pada saat yang sama.
Gangguan-gangguan tersebut, misalnya
obesitas, bisa terbawa sampai dewasa. Padahal, obesitas dapat meningkatkan
risiko penderitanya terjangkit berbagai penyakit tidak menular, seperti
diabetes, hipertensi, stroke, kanker, penyakit kardiovaskular, dan sebagainya.
Penyakit-penyakit tidak menular ini justru berisiko lebih tinggi terhadap
kematian.
Di Indonesia pada masa akhir Orde Baru
saja tahun 1996/1997 di ibukota seluruh provinsi Indonesia menunjukkan bahwa
8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-
27) dan 6.8% mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita dewasa mengalami
overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun
overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23%
pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita. Sementara itu, saat ini di
kawasan Asia Pasifik, jumlah kasus obesitas pada orang dewasa meningkat.
Mengacu pada hal tersebut, apakah
mengherankan jika saat ini banyak orang meninggal karena Covid?
Diabetes sebagai Komorbid Utama Covid-19
Komorbid utama dalam kasus meninggalnya
pasien Covid di Surabaya adalah diabetes tipe 2 (T2DM/Type 2 diabetes
mellitus), disusul dengan hipertensi dan jantung. Meskipun demikian, ada juga penyakit
lain yang bisa menjadi komorbid seperti asma, ginjal, gangguan pernapasan
kronis, dan TBC.
Komorbid diabetes ini sangat berbahaya
karena dapat melemahkan sistem imun, menimbulkan komplikasi yang lebih parah, serta
menyebabkan tingginya risiko kematian pada penderita Covid.
Pada tahun 2007, Health Data melansir,
diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi ke-6 di Indonesia. Bahkan,
posisinya melesat ke peringkat ke-3 pada tahun 2017. Prevalensi penyakit diabetes
ini kemudian naik dari 6,9% menjadi 8,5% per tahun 2018.
Diabetesnya sendiri sudah mematikan. Orang
yang menderita diabetes, angka harapan hidupnya akan berkurang 5 hingga 10
tahun. Jadi, wajar apabila setelah penderita diabetes terinfeksi virus Corona,
risiko kematiannya juga tinggi.
Untuk diketahui, Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018, Indonesia mengalami peningkatan dalam prevalansi
penyakit tidak menular dan menjadi penyebab kematian tertinggi masyarakat
Indonesia. Penyakit Tidak Menular (PTM) penyebab kematian tertinggi tersebut
tidak jauh-jauh dari komorbid-komorbid utama dalam Covid-19, seperti diabetes
mellitus, stroke, gagal ginjal kronis, dan kanker.
Rokok Disayang, Nyawa Melayang
Selanjutnya adalah rokok. Rokok masih
menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Bukan penyebab langsung sih,
tetapi merupakan faktor risiko utama. Perokok memiliki risiko tertinggi untuk
menderita penyakit-penyakit penyebab kematian tertinggi seperti hipertensi,
jantung, kanker, stroke, penyakit pernapasan (misalnya Penyakit Paru Obstruktif
Kronik/PPOK), atau lainnya. Merokok menyebabkan 20% kematian akibat kanker dan
70% kematian akibat kanker paru-paru di dunia.
Meningkatnya Jumlah Penderita Diabetes
dan Hipertensi Setiap Tahunnya
Hipertensi dan diabetes merupakan dua
penyakit tidak menular dengan jumlah penderita yang terus meningkat setiap
tahun. Kalau sudah terkena hipertensi orang akan mudah terkena stroke, jantung,
gagal ginjal, dan mengalami berbagai kerusakan organ tubuh. Begitupun diabetes,
penderitanya akan rawan terkena stroke, penyakit jantung, ginjal, mata, dan
kerusakan berbagai organ tubuh lainnya.
Sehubungan dengan Covid-19 dan
peningkatan rata-rata angka harapan hidup masyarakat Indonesia, rokok tentu
menjadi sorotan utama. Itu PR kita. Selain itu, saya menawarkan solusi jangka
panjang berupa perbaikan konsumsi gula. Ini adalah One Thing saya, yaitu
perubahan kecil dari Tiny Habits, yang terkesan remeh, tetapi konsisten dan
diterapkan sungguh-sungguh.
Masyarakat sendiri tidak benar-benar
bandel atau cuek kesehatannya, atau setidaknya mereka tidak sepenuhnya begitu.
Ingat tidak ketika pada awal-awal muncul wacana tentang vitamin C dan jambu
merah, keduanya habis di pasaran atau menjadi susah ditemukan. Beri mereka
kuncinya dan kadang mereka akan mencarinya sendiri.
Saya itu menyayangkan ketika Pemprov
Jatim mengadakan Lumbung Pangan-nya, mengapa pangan-pangan di situ adalah
pangan-pangan yang tidak sehat, hanya harganya yang mungkin lebih murah.
Padahal, di situ pemerintah bisa melakukan intervensi terselubung untuk memaksakan
gaya hidup sehat di masyarakat. Jadi, saat masyarakat butuh pangan dan
kesehatan secara bersamaan, kita bisa “memaksakan” pangan sehat kepada mereka.
Saya tidak akan jauh-jauh membahas
gula-gula pada snack/camilan atau minuman bersoda misalnya. Gula/pemanis
sehari-hari saja lah ayo mulai kita ganti dengan yang lebih sehat. Bila
memungkinkan sih, gula pasir sepenuhnya ditiadakan saja, ganti dengan gula yang
lebih sehat, tetapi jadikan harganya murah (ramah di kantong).
Kalau kita mau membahas hal-hal lain
lagi seperti meningkatnya kasus leaky gut (usus bocor) dan autoimun, gula juga
pengaruh lho. Ya tidak usahlah solusinya terlalu fantastis, bertahap saja dari
gula dulu misalnya, karena dari One Thing yang membaik dapat merembet pada
membaiknya hal lain juga.
Sebagai alternatif pemanis pengganti
gula pasir, ada raw honey, madu, kurma, stevia, D-ribose/ribose, monk fruit extract (luo han guo), dan erythritol. Baik
orang sehat, apalagi yang sudah sakit Covid atau lainnya, pilih pemanis yang
lebih sehat.
Terus, menurut hemat saya, yang lebih butuh
untuk isolasi adalah orang-orang rawan tadi. Kalau tidak penting-penting amat, kalau
bisa tidak keluar, tidak ke kerumunan, atau mungkin dilokalisasi lebih baik. Ya
ke tempat yang sepi-sepi aja begitu, yang jarang orangnya. Apalagi, buat yang
sudah sakit tapi suka bandel melanggar pantangan dll wah jangan banget keluar
atau ketemu/kumpul orang sembarangan. Diukur sendiri gitu ya kondisi tubuhnya.
Dalam buku Factfulness, Hans Rosling
dan Ola Rosling menjelaskan, terdapat 6 risiko global yang harus kita khawatirkan,
yaitu:
1. Pandemik
global,
2. Keruntuhan
keuangan (financial collaps),
3. Perang
dunia III,
4. Perubahan
iklim,
5. Kemiskinan
ekstrem, dan
6. Tidak diketahui.
Pandemi flu adalah yang paling sering
datang. Jadi, tak ada jalan lain kecuali kita harus lebih mempersiapkan diri
menyambutnya. Gampangnya begini, kalau virus yang datang lebih kuat, ya kita
harus lebih kuat lagi. Kalau pandemi akan datang tiap tahun atau tiap beberapa
tahun ya kita harus lebih siap lagi.