Sholat
Kekhusyukan di dalam sholat itu sangat diperlukan. Namun,
pelaksanaannya tak bisa dipandang mudah. Sebagaimana kemampuan-kemampuan lain,
perlu dilatih.
Bermula dari membaca sebuah buku tentang cara meningkatkan konsentrasi,
tiba-tiba saya terpikirkan hal ini. Sebenarnya tidak berhubungan dengan isi
bukunya, tiba-tiba saja tercetus di pikiran.
Caranya cukup 1, dan sangat mudah. Cukup dengan berfokus untuk
mendengarkan bacaan sholat kita sendiri. Bacaan dalam sholat itu kan tidak
dibaca di dalam hati. Harus disuarakan sebatas kita bisa mendengarnya.
Ternyata, ketika saya mencobanya, pikiran jadi lebih terfokus, sehingga bisa
meningkatkan kekhusyukan sekitar 3 kali lipat. Kekhusyukan tahap awal.
Kemudian saya teringat akan suatu hadits tentang Abu Bakar dan Umar
bin Khaththab yang sedang membaca bacaan dalam sholatnya, Abu Bakar disuruh
Nabi untuk mengeraskan suaranya, sedangkan Umar disuruh Nabi untuk memelankan
suaranya.
Saya tidak membahas hadits lebih dalam. Intinya, dalam kondisi
biasa, tidak dalam kebisingan tingkat tinggi, berfokus pada bacaan yang sebatas
terdengar telinga sendiri itu berhasil bagi saya pribadi.
Barangkali, untuk alasan yang sama, pendapat ustadz Adi Hidayat
bahwa zikir harus disuarakan itu benar. Salah satu hikmahnya adalah agar kita
lebih bisa konsentrasi dan memahami apa yang kita baca. Hikmah lain yang saya
tahu adalah hikmah kesehatan, terkait dengan makhraj-makhraj huruf dan getaran
yang ditimbulkan karena membacanya (saya memiliki buku khusus tentang ini). Yang
dimaksud dengan ibadah hati itu bukan tentang membaca istighfar dalam hati
misalnya, tetapi tentang syukur, ikhlas, rida, dan semacamnya.
Saya berpendapat, baik bacaan sholat, mengaji, berzikir, atau
berdoa, minimal memang harus bisa didengar oleh suara sendiri. Kecuali pada
kondisi khusus.
Munculnya pendapat tentang keuntungan multitasking mungkin membuat
orang berlomba-lomba untuk bisa menerapkannya. Padahal, telah banyak buku yang
membuktikan bahwa hal itu tidak benar. Dengan multitasking, kekuatan dan
perhatian kita terpecah. Belum lagi dengan adanya ponsel, tablet, laptop, atau
semacamnya. Membuka internet dalam waktu lama saja sudah bisa menyebabkan
gangguan fokus, apalagi kalau banyak yang dibuka bersamaan (banyak tab atau
banyak jendela). Pemikiran untuk mempersingkat waktu itu tidak benar dan malah
menyebabkan kita menjadi kurang manusiawi. Kapan Anda benar-benar berbicara
dengan pasangan tanpa dibarengi dengan nonton TV atau baca koran? Kapan Anda
benar-benar memperhatikan ucapan anak Anda tanpa dibarengi dengan “main” HP? Kapan
Anda bisa benar-benar bekerja? Saatnya istirahat ya benar-benar istirahat? Bisa
benar-benar “ada” untuk orang di dekat Anda? Banyak sekali contoh yang
merupakan “produk gagal” dari konsentrasi.
Nah, bagi umat Islam, fakta tentang konsentrasi ini sangat
menguntungkan. Kita dilatih minimal sebanyak 5 kali sehari di dalam sholat agar
bisa berkonsentrasi. Manfaatnya apa? Kita bisa lebih fokus pada tujuan. Kita
tahu apa yang terpenting di dalam hidup. Kita tahu apa yang ingin kita capai.
Selain itu, dengan konsentrasi, semakin banyak yang bisa kita raih, semakin
baik capaiannya, semakin singkat waktunya, semakin baik kita dalam pengelolaan
segala sumber daya, dan semakin baik pula hubungan kita dengan sesama. Kita pun
akan menjadi orang yang lebih terarah dan lebih manusiawi.
Bukankah sinar matahari hanya dapat membakar kertas jika
difokuskan?
Oleh karena itu, hindari multitasking dan mulai coba cara di atas!
Semoga bermanfaat.
Sumber gambar: notepam.com